TRIBUNJATIM.COM - Inilah kisah Diki, pemuda iseng jualan justru mendapat untung tak terduga.
Ia mendapat Rp500 ribu sehari berkat jualan donat buatannya sendiri di pinggir jalan.
Bahkan kini sudah memiliki 8 lapak yang tersebar di beberapa tempat.
Adapun Diki (29) merupakan pemuda asal Gorontalo.
Siapa sangka, usaha donat yang awalnya hanya iseng coba-coba kini menjelma menjadi ladang rezeki manis bagi Diki.
Berkat keberanian mencoba dan dukungan penuh dari keluarga, Diki kini mampu meraup pendapatan hingga Rp500 ribu per hari dari hasil jualan donat buatannya sendiri.
Baca juga: Sosok Varen, Anak Pedagang Kantin Kuliah di UGM dengan UKT Rp0, Sejak Kecil Bantu Ibu Jualan
"Awalnya cuma coba-coba, tapi seiring waktu Alhamdulillah lancar," ujar Diki saat ditemui di lapaknya, Kamis (26/6/2026), dikutip dari Tribun Gorontalo.
Setiap hari, Diki membuka lapak di Jalan Andalas, Tapa, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo.
Di sana, ia menjajakan aneka varian donat yang memanjakan lidah.
Dari rasa klasik hingga kekinian, seperti tiramisu, coklat, keju, green tea, red velvet, hingga stroberi, semuanya ia buat sendiri.
"Ada tiramisu, coklat, keju, green tea, red velvet, sampai stroberi. Macam-macam varian pokoknya," katanya sambil menunjukkan deretan donat yang menggoda.
Tak hanya berjualan di satu tempat, Diki dan keluarganya kini sudah memiliki delapan booth donat.
Tujuh berada di berbagai titik di Kabupaten Bone Bolango, dan satu di Kota Gorontalo.
Strategi ini terbukti efektif untuk menjangkau lebih banyak pelanggan.
"Biasanya kami jualan mulai jam 4 sore. Kalau pembeli ramai, paling cepat jam 8 malam atau setengah 9 sudah habis," ucapnya.
Diki memilih bisnis donat karena selain bisa diproduksi sendiri, produk ini memiliki pasar luas dan diminati berbagai kalangan.
Respons masyarakat yang positif turut memompa semangatnya dalam menjalani usaha.
"Alhamdulillah banyak yang suka. Respons mereka bagus, makanya kami terus semangat jualan," ungkapnya.
Namun, usaha ini tak selalu mulus. Cuaca menjadi tantangan tersendiri yang bisa menghambat penjualan.
"Kalau hujan, itu jadi tantangan. Pembelian menurun karena orang enggan keluar rumah," jelas Diki.
Meski begitu, Diki tetap optimistis menatap masa depan.
Ia berharap usahanya bisa terus berkembang dan menjangkau pasar yang lebih luas.
Bahkan menerima lebih banyak pesanan.
"Semoga ke depan bisa lebih maju, dan bisa buka order lebih banyak lagi," harapnya.
Baca juga: Curhat Penyandang Disabilitas Belum Pernah Dapat Bantuan, Terpaksa Ngamen hingga Jualan Kerupuk
Kisah inspiratif lainnya datang dari Yati, penjual semanggi.
Yati (60) menjadi segelintir pedagang yang memilih tetap berjualan kuliner legendaris khas Surabaya, Semanggi, di tengah gempuran jajanan siap saji.
Lebih dari 20 tahun dirinya berjualan Semanggi di sudut Kota Surabaya.
"Saya mulai (jualan) pas anak saya usia tiga tahun. Sekarang usianya sudah 25 (tahun). Berarti sudah 22 tahunan,” kata Yati saat ditemui di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, Senin (23/6/2025).
Dengan usia jualan lebih dari dua dekade itu, kedatangan para pelanggan setia tampak akrab memesan Semanggi buatan Yati.
Tangan Yati cekatan membungkus rebusan daun semanggi, ubi jalar, kecambah di atas pincuk daun pisang.
Ia juga menambahkan bumbu berbahan kacang.
Sekilas tampak seperti bumbu pecel namun bahan yang dibuat sangat berbeda.
Baca juga: Baru Pulang Jualan Bakso, Pria ini Kaget Tas Isi Rp 27 Juta Raib dari Plafon, Curhat ke Bos
Ada campuran rebusan ubi jalar dan kentang yang dihaluskan dan ditambah sedikit air.
Tambahan kerupuk puli menyempurnakan sajian panganan khas Suroboyo tersebut.
Selama sepekan, ibu empat anak ini membagi lokasi jualan.
Saat Sabtu dan Minggu, ia menjajakan olahan semanggi tersebut ke area Car Free Day Taman Bungkul Surabaya.
“Kalau dulu saya keliling kampung, kampung ke kampung. Sembarang tak lakoni (apa saja saya lakukan), punya toko, buruh pabrik, terakhir Semanggi,” ujarnya.
Setiap Senin, ia dan suami mengambil daun semanggi ke kampung semanggi daerah Benowo.
Lalu mengolahnya dengan cara dijemur sedikit layu, gunanya agar daun semanggi tidak terlalu keras dan berair.
Kemudian merebusnya sesuai kebutuhan harian.
Baca juga: Artis Dulunya Bangkrut dan Viral Dinikahi Pedagang Singkong, Kini Jualan Donat Rp130 Ribu Demi Cuan
Pilihannya kepada kuliner Semanggi atas dasar nasihat sang ibu.
Perempuan yang saat ini telah memiliki 10 cucu tersebut merasa saran dari sang mertua tersebut adalah jalan keluar dari permasalahan ekonomi yang sebelumnya kerap dihadapi.
Berangkat dari Tandes turun ke Wonokromo, menggendong wakul keranjang menggunakan selendang lalu keliling kampung.
Hingga akhirnya ia menemukan tempat berjualan.
“Dodolan Semanggi ae, soro nak tapi anak bojomu mangan, sangu sekolah anak wes cukup. Nurut omongan e wong tuo (berjualan Semanggi saja. Susah tapi anak suami makan, uang saku anak sekolah sudah cukup. Menurut nasihat orang tua). Kata ibu saya dulu begitu,” ujarnya.
Satu porsi Semanggi dijual Rp 10 ribu.
Usaha Semanggi disebut mencukupi kebutuhan keluarganya.
Setiap hari, ia menghasilkan Rp 500 ribu dari berjualan Semanggi.
Sementara Sabtu dan Minggu, Yati mengaku mengantongi Rp 1,5 juta.
Ia berharap usaha yang digeluti keluarganya ini dapat diteruskan oleh keluarganya.
“Sudah dari ibu saya, mertua kakak saya, kakak saya juga bergantian jualan. Paling nanti diteruskan menantu yang belum kerja, soalnya anak saya kerja,” tuturnya.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com