"Tapi ternyata yang diterima minimal nilainya 89. Anak saya nilai rata-ratanya 88, jadi tidak masuk," ujar Fauzia saat ditemui di SMAN 3 Tangsel, Rabu (2/7/2025).
Fauzia mengaku tidak mendapat penjelasan yang jelas soal perubahan sistem seleksi SPMB 2025 jalur domisili.
Selama ini ia beranggapan bahwa jarak rumah adalah syarat utama dalam SPMB jalur domisili.
"Saya kira jalur domisili itu tetap berdasarkan jarak rumah ke sekolah, ternyata malah nilai yang jadi penentu utama," ujar Fauzia.
Baca juga: Unggahan Terakhir Septian Eka Rahmadi Mahasiswa UGM sebelum Tenggelam saat KKN, Ayah Curhat Pilu
Ketua RW 15, Keluruhan Benda Baru, Mujianto, menyebutkan, dari 64 anak yang mendaftar lewat SPMB jalur domisili, hanya 16 yang diterima.
Padahal, ia menilai mayoritas anak yang mendaftar memiliki nilai rapor yang cukup bagus.
"Masalah seperti ini bukan kali pertama. Ini sudah terjadi tiga kali berturut-turut, sejak 2022, 2023, 2024 dan sekarang (2025)," kata Mujianto.
Ia menyampaikan, warga sudah lama curiga ada penyalahgunaan seleksi SPMB jalur domisili.
Bahkan, beberapa warga ada yang menyuarakan dugaan praktik jual beli kursi melalui pengeras suara dan poster tulisan saat mendemo SMAN 3 Tangsel.
"Kami sebagai warga RW 10 sampai 16, Wong Pitu, enggak ingin hanya menjadi penonton di rumah sendiri, anak-anak kamilah yang berhak sekolah di SMAN 3 Tangsel," ujar salah satu orang tua dengan menggunakan alat pengeras suara.
Warga menyabut, proses SPMB jalur domisili sudah tidak lagi mempertimbangkan kedekatan geografis.
Padahal, selama ini mereka mendukung operasional sekolah, mulai dari menyediakan akses jalan hingga lapangan yang dipakai siswa untuk kegiatan sekolah.
"Lapangan kami dipakai, jalan kami dilewati. Kami tidak pernah minta apa-apa, hanya minta anak-anak kami bisa sekolah di sini," jelas Mujianto.
Ia pun mengusulkan agar ke depan pemerintah menetapkan kuota khusus untuk warga sekitar.
"Kami minta ada kuota khusus, minimal satu kelas, supaya tidak terus jadi konflik."