Fitri, yang memiliki keterbatasan dalam berbicara dan kondisi fisik, pernah berkeluh kesah kepada sahabatnya bahwa ia ingin segera menikah.
Sahabatnya yang adalah adalah keponakan Sai’un kemudian menawarkan untuk mengenalkannya kepada sang paman.
Pertemuan pertama pun terjadi di rumah sang teman. Sai’un mengaku langsung merasa nyaman dengan Fitri.
Pertemuan itu menjadi awal dari segalanya.
Bagi Fitri, menerima lamaran Sai’un bukan soal usia atau harta. Melainkan karena merasa cocok secara pribadi.
Fitri menilai Sai’un adalah sosok yang baik hati, bertanggung jawab, dan mau menerima dirinya apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung dalam kesederhanaan, dihadiri keluarga dan tetangga dekat.
Tak ada panggung megah atau dekorasi berlebihan.
Hanya doa, restu, dan janji untuk saling menjaga hingga akhir hayat.
Latar kehidupan mereka pun jauh dari gemerlap.
Rumah kayu yang mulai memudar warnanya dan kebun pisang di belakang rumah menjadi saksi bisu kisah kasih tak biasa ini.
Sai’un, yang tinggal di Desa Jambu Kecamatan Taba Penanjung, berencana membawa istrinya ke sana.
“Kalau saya ke kebun, Fitri temenin. Kalau di rumah juga begitu. Saya butuh teman hidup, karena anak-anak sudah punya rumah sendiri,” tuturnya.
Pernikahan ini memicu beragam reaksi dari masyarakat. Ada yang menganggap hubungan mereka tulus dan layak diapresiasi.
Ada pula yang meragukan ketulusannya karena jarak usia yang jauh. Namun bagi pasangan ini, komentar orang tak penting.
“Namanya jodoh, tidak ada yang tahu,” ucap Sai’un mantap. “Kalau sudah cocok, usia bukan halangan,” kata Sai’un.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com