Di pasar modern, beras juga terjadi kelangkaan.
Yeka bilang rak-rak yang biasanya dipakai untuk menjual beras, sekarang diganti untuk menjual air minum dalam kemasan.
"Tadi saya terjunkan (tim) untuk melihat beras di pasar modern retail market. Kosong, bahkan raknya sudah berganti yang tadinya rak beras, sekarang sudah berganti jadi rak Aqua," kata Yeka.
Kelangkaan beras ini sudah ia konfirmasi langsung kepada para pengusaha.
"Kami (telah) undang pelaku usaha dan ternyata kelangkaan ataupun ketiadaan stok itu terkonfirmasi," ujar Yeka.
Yeka meminta pemerintah segera memberikan rasa aman dan nyaman bagi seluruh pelaku usaha beras, mulai dari penggilingan kecil hingga besar, serta dari pedagang pasar tradisional hingga modern.
Kalau pelaku usaha beras sampai merasa seperti menjual barang ilegal atau haram, Yeka menilai ini merupakan masalah besar.
"Jadi, pemerintah harus segera membuat rasa aman dan nyaman," ujar Yeka.
Kasus Beras Oplosan
Kasus beras oplosan yang marak di pasaran menyita perhatian publik.
Sebab, praktik penipuan itu merugikan konsumen hingga triliunan rupiah.
Beras oplosan memiliki warna yang tidak seragam, butiran yang berbeda ukuran, dan tekstur nasi yang lembek setelah dimasak.
Para pelaku mencampur beras premium dengan medium, kemudian menjualnya dengan harga yang mahal.
Padahal, beras yang diperjualbelikan harus sesuai dengan standar mutu yang telah diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020, yaitu beras premium berkadar air maksimal 14 persen, butir kepala minimal 85 persen, dan butir patah maksimal 14,5 persen.
Sementara itu, beras medium berkadar air maksimal 14 persen, butir kepala minimal 80 persen, dan butir patah maksimal 22 persen.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com