Pengusutan Ambruknya Ponpes Al Khoziny
Pakar Hukum UMSurabaya Soal Insiden Bangunan Ponpes Ambruk: Keselamatan Publik Harus Jadi Prioritas
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana menanggapi insiden ambruknya bangunan pondok pesantren
Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Samsul Arifin
Poin Penting :
- Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana menilai insiden ambruknya gedung di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo bisa menimbulkan konsekuensi hukum.
- Pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada beberapa pihak
- Ambruknya bangunan pondok pesantren tersebut menelan korban jiwa
Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Sulvi Sofiana
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana menanggapi insiden ambruknya bangunan pondok pesantren yang menelan korban jiwa.
Ia menilai insiden ini dapat menimbulkan konsekuensi hukum serius, baik pidana maupun perdata.
Menurut Satria, pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada beberapa pihak, tergantung hasil penyelidikan dan temuan teknis di lapangan.
“Pihak yang paling mungkin dimintai pertanggungjawaban meliputi pimpinan atau pemilik pesantren, kontraktor, serta konsultan perencana dan pengawas,” jelasnya, Jumat (10/10/2025).
Ia menjelaskan, pimpinan pondok pesantren sebagai penggagas pembangunan memiliki tanggung jawab utama terhadap kelayakan dan izin bangunan.
Baca juga: Antisipasi Tragedi Al Khoziny Terulang, Kemenag Jombang Cek Kelayakan Bangunan Ratusan Pesantren
Jika pembangunan dilakukan tanpa izin resmi seperti IMB atau PBG, serta mengabaikan standar keselamatan, maka hal itu dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian secara hukum.
Selain itu, pelaksana konstruksi atau kontraktor juga dapat dimintai pertanggungjawaban apabila ditemukan kesalahan teknis, perhitungan struktur yang keliru, atau penggunaan material di bawah standar.
Demikian pula konsultan perencana dan pengawas yang bisa dikenai sanksi jika lalai dalam perencanaan atau pengawasan mutu pekerjaan.
Satria menuturkan, unsur pidana muncul bila kelalaian konstruksi menyebabkan jatuhnya korban jiwa atau luka-luka.
“Kasus seperti ini termasuk delik umum, artinya polisi bisa langsung melakukan penyelidikan tanpa menunggu laporan,” tegasnya.
Beberapa pasal yang dapat diterapkan antara lain Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian, Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat atau ringan, serta UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 46 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (2) yang mengatur pelanggaran persyaratan teknis bangunan.
Selain pidana, aspek perdata juga dapat diberlakukan melalui gugatan ganti rugi oleh keluarga korban terhadap pihak yang dianggap lalai.
“Dasar gugatan bisa mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH),” ujar Satria.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.