Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kisah Sundana Menyeduh Bahagia, Secangkir Kehangatan di Warung Kopi Jombang Rp 500

Warung Sundana di Jombang menjual kopi hitam dengan harga yang tak berubah banyak, Rp 500 per gelas kecil.

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Dwi Prastika
TribunJatim.com/Anggit Pujie Widodo
KOPI MURAH - Sundana (68) saat mulai meracik kopi murah di warung sederhana miliknya di Desa Sumberagung, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada Selasa (7/10/2025). Ia bertahan dengan harga kopi murah sejak tahun 1992. 

Poin Penting:

  • Warung Kopi Sundana di Jombang tetap bertahan sejak tahun 1992 dengan harga kopi Rp 500.
  • Suasana hangat dan akrab menjadikan warung ini tempat beristirahat jiwa.
  • Sundana percaya rezeki datang dari berbagi, bukan semata keuntungan uang.

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Anggit Puji Widodo

TRIBUNJATIM.COM, JOMBANG - Gang kecil di Desa Sumberagung, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, lekat dengan aroma kopi hitam yang memikat setiap orang yang lewat, Selasa (7/10/2025).

Asap tipis mengepul dari ceret tua di atas tungku arang. 

Di balik kepulan itu, tampak seorang perempuan paruh baya bernama Sundana (68), tersenyum ramah menyapa pelanggan yang datang. 

Tangannya cekatan menuang air panas ke gelas-gelas kecil yang berbaris di meja kayu tua.

Inilah warung kopi sederhana yang sudah menemaninya selama lebih dari 30 tahun, dengan harga yang tak berubah banyak, Rp 500 per gelas kecil.

Warung kecil itu berdiri di beranda rumahnya sejak tahun 1992, Sundana meneruskan usaha ibunya tersebut sampai hari ini.

Tidak ada papan nama, tidak ada dekorasi menarik. Hanya meja sederhana, beberapa kursi kayu, dan suasana akrab yang sulit ditemukan di kafe modern. 

Namun, bagi banyak orang, tempat ini lebih dari sekadar warung kopi. Ia adalah tempat pulang, tempat bercerita, tempat melepaskan penat hidup.

“Dulu ibu saya yang mulai jualan kopi. Waktu itu harganya cuma Rp 300. Sekarang saya naikkan jadi Rp 500. Saya gak tega kalau harus mahal. Orang kecil kan cuma pengin ngopi, ngobrol sebentar. Biar mereka tetap bisa nikmati hidup," ucap Sundana saat dikonfirmasi awak media pada Selasa (7/10/2025). 

Bagi Sundana, warung ini bukan sekadar sumber penghasilan, tapi bagian dari hidupnya.

Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar tinggi, ia sudah menyiapkan air panas dan menggiling kopi secara manual. 

Suaminya, Senawi, membantu menyapu halaman dan menata kursi. Mereka bekerja berdua dengan ritme yang sudah melekat selama puluhan tahun.

“Kalau gak ngopi dan melayani orang, rasanya sepi,” kata Senawi. 

Yang membuat banyak orang kaget, harga-harga di warung ini tetap seperti dulu.

Segelas kopi Rp 500, es janggelan juga Rp 500, dan rujak petis Rp 3.000. Bahkan ketika harga bahan pokok naik, Sundana tak tergoda untuk menaikkan harga.

Baca juga: Cicipi Kopi Tebu Megaluh Jombang Ditemani Angin dan Suara Burung yang Ciptakan Pengalaman Unik

“Rezeki itu gak selalu dari uang. Kadang ada orang datang bantu, kadang ada yang kasih beras. Ya itu bentuk berkah juga,” ujar Sundana.

Setiap hari, warung Sundana tak pernah sepi.

Ada petani yang mampir setelah bekerja di sawah, anak sekolah yang singgah sepulang belajar, hingga mahasiswa dari luar kota yang datang karena penasaran. 

Mereka duduk lesehan, menyesap kopi hangat, sambil bercengkerama. Di sana, batas usia dan status sosial seolah hilang. Semua sama, disatukan oleh kehangatan secangkir kopi.

Salah satu pelanggan, Muhammad Fatkhul Rafi (20), mengaku sudah sering ke warung itu sejak masih SMA.

“Harganya murah banget, cocok buat mahasiswa kayak saya. Tapi yang bikin saya balik lagi bukan cuma harganya, tapi suasananya. Di sini kayak rumah sendiri,” katanya.

Rafi juga bercerita bahwa kopi racikan Sundana memiliki cita rasa yang unik.

“Kopinya disangrai pakai wajan tanah liat, baunya khas banget. Gak kayak kopi instan. Rasanya hangat sampai ke hati,” ungkapnya. 

Bagi anak muda seperti Rafi, warung itu bukan sekadar tempat ngopi murah, tapi ruang kecil yang penuh makna. Di sela-sela kesibukannya, Sundana kadang berhenti sejenak, menatap kursi-kursi kayu yang perlahan menua bersama waktu.

“Kadang saya mikir, sampai kapan bisa seperti ini. Tapi kalau lihat orang-orang datang, tertawa, saya merasa hidup saya berarti,” bebernya. 

Warung kecil di Peterongan ini memang sederhana, tapi di sanalah kehangatan manusia masih hidup tanpa Wi-Fi, tanpa musik modern, hanya suara sendok dan tawa. 

Dari secangkir kopi lima ratus perak, Sundana mengajarkan, kebahagiaan tidak selalu datang dari kemewahan, melainkan dari hati yang tulus berbagi.

Warungnya mungkin kecil, tapi maknanya besar bagi setiap orang yang pernah duduk di sana. 

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved