Berita Viral
Aspek Pemicu MBG Bikin Banyak Siswa Keracunan Kini Terjawab, Ternyata Tak Ada Standar Khusus
Inilah ternyata aspek pemicu MBG yang ternyata tidak memiliki standar baik sedikitipun.
Penulis: Ignatia | Editor: Mujib Anwar
Poin penting:
- Diketahui aspek pemicu MBG yang ternyata karena tidak adanya standar yang baik dalam pelaksanaan dan persiapannya.
- Ombudsman RI menemukan fakta terbaru bahwa pengawasan dan standar harusnya sesuai standar internasional.
- Seringkali Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) menerima sayuran tidak segar dan lauk-pauk yang tidak lengkap.
TRIBUNJATIM.COM - Pelaksanaan Program MBG hingga kini masih menimbulkan pro dan kontra.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebenarnya dibayar dengan uang negara dan tidaklah murah.
Pemerintahan Prabowo bahkan menjamin bentuk program MBG dengan kualitas premium.
Namun belakangan, hampir di seluruh penjuru negeri mengeluhkan dampak dari MBG.
Ombudsman RI mengungkap temuan mengejutkan soal program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Meski negara membayar dengan harga premium, kualitas makanan yang diterima anak-anak justru jauh dari harapan.
Dari bahan pangan yang tak sesuai kontrak, proses pengolahan tanpa standar, hingga distribusi yang semrawut, semuanya menimbulkan tanda tanya besar soal tata kelola program ini.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyebut sejumlah dapur umum atau Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) menerima sayuran tidak segar dan lauk-pauk yang tidak lengkap.
Hal itu terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit (AQL) yang tegas, sehingga kualitas pangan yang sampai ke meja makan siswa tidak sepadan dengan nilai anggaran yang dikeluarkan negara.
“Beberapa dapur juga menerima sayuran yang tidak segar setelah lauk pauk yang tidak lengkap. Hal ini terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas, sehingga negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal,” ujar Yeka saat konferensi pers, Selasa (30/9/2025), seperti dikutip TribunJatim.com dari Kompas.com, Rabu (1/10/2025).
Baca juga: Sosok Artis Pernah Jadi Bupati, Tahan Tangis Ingat Masa Kecilnya Ikut Ayah Memulung Barang Bekas
Di tahap pengolahan, standar hazard analysis and critical control point (HACCP) juga belum diterapkan secara konsisten.
Beberapa SPPG bahkan tidak menyimpan catatan suhu maupun retained sample sebagai syarat sistem pengendalian mutu.
Kelemahan ini semakin jelas ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang semestinya melakukan 13 item pengawasan, dinilai belum maksimal. Hasilnya, 17 kasus keracunan luar biasa terjadi hingga Mei 2025.
“Fakta adanya 17 kejadian luar biasa keracunan hingga Mei 2025 menjadi pengingat bahwa prosedur operasional standar pengolahan harus diperbaiki dan ditegakkan secara lebih disiplin,” paparnya.
Pada tahap persiapan bahan, masih ditemukan ketidaksesuaian antara kontrak dan realisasi di lapangan.
Di Bogor, Jawa Barat, misalnya SPPG menerima beras medium dengan kadar patah di atas 15 persen meskipun kontrak mencantumkan beras premium.
Di sisi distribusi, masalah tak kalah serius muncul.
Standard holding time empat jam yang seharusnya menjamin keamanan pangan sering dilanggar.
Bahkan di Bangka Belitung, distribusi makanan sempat terhenti selama dua minggu tanpa pemberitahuan memadai, membuat sekolah kebingungan.
Ironisnya, guru kembali dipaksa menjadi ujung tombak distribusi meski tidak mendapatkan tambahan dukungan.
Baca juga: Penjualan LKS Rp140 Ribu Dilaporkan Ortu Murid SDN 017, Disdik: di Toko Harganya Terlalu Mahal
“Guru kembali menjadi tumpuan distribusi, meskipun mereka tidak mendapatkan dukungan tambahan yang semestinya. Situasi ini mencerminkan perlunya penataan tata kelola distribusi agar lebih setara, transparan, dan berpihak pada penerima manfaat,” ucap Yeka.
Ombudsman juga menyoroti lemahnya pengawasan digital.
Dashboard Badan Gizi Nasional (BGN) belum bisa menampilkan data mutu, bahan, jadwal distribusi, hingga insiden keracunan secara real time.
Sementara skema ad cost yang belum memiliki petunjuk teknis (juknis) rinci membuka celah ketidakpastian dalam penggunaan anggaran.
Seharusnya, pengelolaan makan gratis untuk siswa di Indonesia mencontoh beberapa negara maju seperti berikut ini.
Langkah yang mereka lakukan pun konsisten dan disiplin sehingga membuat tak ada kesempatan sedikitpun untuk bakteri hinggap di makanannya.
1. Jepang: Kyūshoku (School Lunch Program)
Sistem: Di Jepang, makan siang di sekolah dasar dan menengah disediakan langsung oleh sekolah. Menu disusun oleh ahli gizi (nutritionist) yang bertugas memastikan makanan bergizi seimbang.
Proses: Makanan dimasak di dapur sekolah atau dapur pusat khusus. Siswa bergiliran bertugas membagikan makanan kepada teman-temannya, sebagai bagian dari pendidikan disiplin dan kebersamaan. Tidak ada kantin ala restoran cepat saji, melainkan semua siswa makan menu yang sama.
Pendanaan: Sebagian biaya ditanggung pemerintah lokal, sebagian lagi oleh orang tua (namun tetap sangat terjangkau). Siswa dari keluarga tidak mampu mendapatkan subsidi penuh, sehingga benar-benar gratis.
2. Finlandia: Free School Meals Since 1948
Sistem: Finlandia menjadi negara pertama di dunia yang mewajibkan makan gratis untuk semua siswa sejak 1948. Hingga kini, setiap anak di sekolah negeri berhak atas satu kali makan gratis per hari.
Proses: Menu dirancang sesuai standar gizi nasional. Makanan disajikan di kantin sekolah dalam format buffet sederhana, sehingga anak-anak bisa memilih sesuai kebutuhan. Biasanya terdiri dari hidangan utama, salad, buah, dan susu. Pendanaan: 100 persen ditanggung negara melalui anggaran pendidikan.
3. Amerika Serikat: National School Lunch Program (NSLP)
Sistem: Diluncurkan sejak 1946, program ini memberi makan siang bersubsidi atau gratis untuk jutaan siswa di seluruh negeri.
Proses: Menu harus memenuhi pedoman gizi nasional (misalnya mengandung buah, sayur, biji-bijian, dan protein). Sekolah mendapatkan bantuan finansial dari pemerintah federal untuk setiap porsi makanan yang disajikan. Anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah berhak makan gratis, sementara yang lainnya mendapat subsidi sebagian.
Pendanaan: Pemerintah federal + negara bagian.
4. Swedia: Free School Meals for All Students
Sistem: Sama seperti Finlandia, Swedia memberikan makan gratis untuk semua siswa dari tingkat dasar hingga menengah.
Proses: Menu bervariasi setiap hari, biasanya mencakup makanan pokok, lauk, sayur, buah, dan minuman. Sekolah diwajibkan menyediakan pilihan makanan sehat (misalnya vegetarian). Pendanaan: 100 persen dibiayai negara melalui pajak.
Dari penjabaran di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa negara maju umumnya menjalankan program makan gratis dengan berbagai ketentuan yang pantas dan layak.
Pendanaan negara atau subsidi besar (agar semua anak punya akses setara).
Keterlibatan ahli gizi dalam menyusun menu.
Dan dana pendidikan tidak dibebankan dan dibuatkan, bukan sekadar bantuan sosial.
Berita viral lainnya
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com
program MBG
keracunan MBG
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
standar hazard analysis and critical control point
berita viral
TribunJatim.com
meaningful
Multiangle
Polos Siswa SMPN di Palopo Makan MBG Ayam Masih Berdarah, Dikira Saus, Kepsek: Merugikan Anak-anak |
![]() |
---|
Berapa Uang Pensiun Presiden Jokowi setelah Jadi Rakyat Biasa? Juga Dapat Pengamanan Paspampres |
![]() |
---|
Isi Chat Kepsek Beristri yang Ingin Melamar Guru Honorer, Lempar Ancaman Jika Ditolak |
![]() |
---|
Alasan Tri Wulandari Siram Pertalite ke Petugas Polres Sragen Setelah Kerap Kali Dianggap ODGJ |
![]() |
---|
Aiptu IWS Pakai Kaus Bertuliskan Polsek saat Jambret Perhiasan Milik Pedagang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.