Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Santri Lirboyo Dibiarkan Ikut Ngecor Bangunan Ponpes, Ponpes Sebut Amal Jariyah dan Libatkan Ahli

Inilah penjelasan tentang video ratusan santri ponpes ikut ngecor bangunan yang viral di media sosial.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Mujib Anwar
IST - KOMPAS.com/M.AGUS FAUZUL HAKIM
SANTRI IKUT NGECOR - Tangkapan layar video ratusan santri ikut ngecor bangunan dan gerbang gapura masuk Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri, Jawa Timur. 

TRIBUNJATIM.COM - Inilah penjelasan tentang video ratusan santri ponpes ikut ngecor bangunan yang viral di media sosial.

Diketahui, mereka adalah para santri Pondok Pesantren atau Ponpes Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur.

Dalam video yang viral, tampak suasana gotong royong dalam pembangunan fasilitas baru pesantren.

Video ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat.

Soal ini, pihak pengurus Pesantren Lirboyo membenarkan bahwa saat ini tengah membangun sejumlah fasilitas.

Itu untuk keperluan ruangan kelas bagi para santri yang terus bertambah jumlahnya, maupun balai tamu.

Namun demikian, salah satu pengasuh Pesantren Lirboyo, KH Abdul Mu’id Shohib, memastikan bahwa dalam proses pembangunannya, pihaknya senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip profesionalitas.

“Pembangunan di pesantren Lirboyo memang kita tangani secara mandiri. Meski demikian, kita juga melibatkan pihak-pihak profesional,” ujar KH. Abdul Mu’id Shohib, Jumat (3/10/2025), melansir dari Kompas.com.

Pelibatan para ahli di bidangnya itu, menurutnya, mencakup pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat fundamental maupun prinsip pembangunan.

Mulai dari sisi perencanaan hingga pada pengawasannya saat proyek pembangunan tengah berjalan.

“Untuk hal-hal yang sangat fundamental itu kita melibatkan profesional. Desain kita dari insinyur yang bersertifikat,” lanjut pengasuh dengan nama sapaan Gus Oing ini.

Baca juga: Santri Akui Ikut Ngecor Bangunan Ponpes Al Khoziny yang Kini Ambruk, Ketua RT Ungkap Tak Ada Molen

Sedangkan keterlibatan para santri itu, menurut Gus Oing, hanya bersifat perbantuan saja, yakni membantu para tukang pada pekerjaan-pekerjaan non-fundamental.

Perbantuan itu biasa dilakukan oleh para santri di setiap momentum pembangunan fisik pondok pesantren dan bersifat sukarela.

“Keterlibatan para santri memang besar. Bagian dari ladang amal jariyah,” lanjutnya.

Gus Oing juga menyampaikan turut berbelasungkawa kepada korban serta berempati kepada pihak pesantren atas peristiwa ambruknya bangunan yang terjadi di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo.

Pada peristiwa itu, menurutnya, ada hikmah yang bisa dipetik, yakni pentingnya mengedepankan hal-hal yang bersifat prinsip saat mengerjakan proyek pembangunan, termasuk gedung pesantren.

“Ada hikmah bahwa saat membangun secara internal, harus mengedepankan hal-hal yang prinsip, termasuk konstruksinya demi keamanan santri,” pungkasnya.

Baca juga: Struktur Bangunan Musala Ponpes Al-Khoziny Diduga Tak Kuat, Ketua RT: Santri Minta Izin Ngecor

Sementara itu, runtuhnya bangunan di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025), menjadi perhatian nasional.

Namun, di tengah sorotan publik dan desakan kepada Tim SAR untuk bertindak cepat, muncul pertanyaan kritis di media sosial: mengapa tim evakuasi tidak menggunakan crane atau alat berat untuk memindahkan puing-puing beton agar prosesnya lebih cepat?

Jawabannya ada pada ilmu penanganan bencana, yang memisahkan antara efisiensi konstruksi dan kehati-hatian penyelamatan jiwa.

Dalam operasi pencarian dan penyelamatan atau Search and Rescue (SAR), kecepatan harus tunduk pada stabilitas dan keselamatan, sebuah prinsip yang sepenuhnya berada di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Taufik Widjojono, menuturkan, Tim SAR tidak bisa sembarangan mengerahkan alat berat karena tipologi keruntuhan di pesantren tersebut bukan keruntuhan biasa.

Berdasarkan analisis awal, bangunan mengalami jenis keruntuhan "Pancake Collapse".

Dalam keruntuhan pancake material saling tumpang tindih.

"Material bangunan jatuh dan menumpuk satu sama lain, membentuk lapisan-lapisan seperti tumpukan panekuk," urai Taufik, Sabtu (4/10/2025), dikutip dari Kompas.com.

Tumpukan ini bersifat sangat tidak stabil (sentilat).

Setiap pergerakan, sekecil apa pun (seperti getaran alat berat), dikhawatirkan akan memicu runtuhan susulan yang jauh lebih fatal.

Penggunaan crane atau alat berat untuk mengangkat beton secara cepat dalam kondisi ini justru berisiko memicu pergerakan material besar yang akan menghimpit dan membahayakan jiwa korban yang masih tertimbun hidup-hidup.

Taufik menegaskan penggunaan alat berat mengandung risiko, korban reruntuhan semakin terhimpit dan penggunaan alat berat berpotensi membahayakan jiwa.

"Jadi perlu kehati-hatian," imbuhnya.

Baca juga: Nanang Merangkak ke Temannya yang Kejang setelah Ponpes Al Khoziny Ambruk, Tetap akan Kembali Mondok

Menurut Taufik, meskipun Kementerian Pekerjaan Umum (PU) telah mengerahkan bantuan secara cepat berupa sejumlah alat berat, namun sesuai dengan Undang-Undang (UU) Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007 dan aturan turunannya (termasuk Perpres 29 Tahun 2021, komando di lapangan adalah BNPB.

BNPB merupakan pemegang kendali penuh dan koordinator penanganan bencana.

"Jadi, meskipun ambruknya gedung ini berstatus kecelakaan konstruksi, tingginya jumlah korban dan dampak persepsi kepada publik membuat BNPB mengambil alih komando," tegas Taufik.

Taufik menjelaskan, Prosedur Operasi Standar (SOP) yang diterapkan BNPB dan tim SAR harus diikuti petugas gabungan lain yang dikerahkan, termasuk operator alat berat, yang pada prinsipnya menitikberatkan dua hal:

  • Menjaga Stabilitas dan Golden Time

Sebelum pemindahan material dilakukan, petugas wajib memasang penopang (shoring) untuk menyetabilkan material-material bangunan yang tumpang tindih.

Evakuasi material dilakukan secara perlahan dan terus-menerus dengan sistem shifting atau rolling petugas untuk mengejar "Golden Time", periode emas di mana kemungkinan korban masih hidup sangat tinggi.

  • Peralatan Khusus dan Batasan Alat Berat

Proses evakuasi harus dilakukan dengan alat-alat khusus, seperti alat pemotong material dan alat pengangkat khusus, bukan alat berat biasa yang memiliki getaran dan beban tak terkontrol.

Penggunaan alat berat hanya diperbolehkan jika keselamatan korban tertimbun sudah terjamin (misalnya, setelah lokasi korban diisolasi dan diamankan).

Selain itu, jika status korban sudah dipastikan meninggal dunia, yang berarti risiko runtuhan susulan tidak lagi mengancam penyelamatan jiwa.

Dengan demikian, keputusan untuk tidak menggunakan crane raksasa di reruntuhan Ponpes Al Khoziny adalah keputusan yang bijaksana, didasarkan pada perhitungan risiko yang sangat tinggi.

"Itu adalah pertimbangan antara menyelamatkan beberapa nyawa dengan prosedur yang lambat namun aman, melawan risiko membunuh korban dengan kecepatan alat berat," tuntas Taufik.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved