Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Tangis Kushayatun Pertahankan Tanah Leluhur Sejak 1887, Heran Tahun 2004 Muncul Sertifikat

Kushayatun nyaris gagal pertahankan tanah leluhurnya yang dititipkan kepadanya sejak ratusan tahun silam.

|
Penulis: Ignatia | Editor: Mujib Anwar
Tribun Solo
KEADILAN BAGI RUMAHNYA - Kushayatun didampingi penasihat hukumnya melaporkan ke Satreskrim Polres Tegal Kota, Senin (6/10/2025). Padahal miliki dan tinggal di tanah leluhur yang diturunkan turun temurun sejak 2021, kini Kushayatun tetap terancam diusir. 

Pemagaran rumah tersebut dibantu petugas keamanan dari Satpol PP Kota Tegal.

Kuasa hukum pemilik rumah, Jefri mengatakan, kliennya melakukan pembelian tanah dan bangunan seluas 383 meter persegi sejak 2004 lalu. 

Tetapi kliennya belum bisa menempati karena ada satu keluarga yang tinggal di sana.

"Kami sudah berupaya melakukan pendekatan dengan menawarkan tali asih dan tempat relokasi. Namun sampai dengan saat ini ditolak," katanya.

Jefri mengatakan, dasar pemagaran berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Akta Jual Beli (AJB).

"Kami melakukan pemagaran dan pengosongan rumah dengan dibantu aparat keamanan. 

Itu dilakukan karena klien kami akan segera menempatinya dan agar tidak ada orang lain yang bisa menempatinya," jelasnya.

Baca juga: Perjuangan Tim Rescue di Balik Puing Ponpes Al Khoziny saat Evakuasi Korban: Kami Tetap Terus Cari

Apa sebenarnya yang membuat rumah pada tahun 1880an itu belum memiliki sertifikat?

Pada tahun 1880-an, belum ada Sertifikat Hak Milik (SHM) seperti yang kita kenal sekarang karena sistem hukum pertanahan Indonesia belum terbentuk karena negara Indonesia sendiri pun belum berdiri.

Saat itu, wilayah Indonesia masih berada di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan sistem hukum tanahnya mengikuti aturan kolonial Belanda, bukan hukum nasional Indonesia. 

Sertifikat Hak Milik merupakan produk dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, yang baru lahir setelah Indonesia merdeka.

Sebelum itu, sistem hukum yang berlaku di Hindia Belanda bersifat dualistik, yaitu:

  • Hukum tanah Barat (Eropa) untuk orang Eropa dan perusahaan kolonial, berdasarkan Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria 1870).
  • Hukum adat untuk penduduk pribumi, di mana kepemilikan tanah diatur menurut adat dan tidak memiliki bukti tertulis formal seperti sertifikat.
  • Jadi, di tahun 1880-an, belum ada sistem pendaftaran tanah nasional, apalagi bukti hak seperti sertifikat.

Pada tahun 1870, pemerintah Belanda mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) dan Agrarisch Besluit (Keputusan Agraria).

Kedua aturan ini memberi izin bagi orang Eropa untuk menyewa tanah negara (domein van den staat) hingga 75 tahun.

Namun, tanah-tanah milik rakyat (adat) tidak diakui sebagai “milik” secara hukum Barat.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved