Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Anak Kampung Citamiang Lewat Hutan Gelap Tiap Hari Demi Sekolah, Ingin Orang Luar Lihat Kenyataannya

Semangat bersekolah tidak padam, anak kampung Citamiang menceritakan bagaimana perjuangan ekstrem mereka tiap hari .

|
Penulis: Ignatia | Editor: Ignatia Andra
KOMPAS.COM/ARI MAULANA KARANG
BOCAH KAMPUNG - Puluhan bocah Kampung Citamiang berjalan menapaki jalan batu melintasi area pesawahan sebelum sampai ke sekolah mereka, Senin (10/11/2025) pagi. Perjuangan ini sudah terjadi dari puluhan tahun lalu 
Ringkasan Berita:
  • Bocah kampung Citamiang harus menjalani hari-hari berangkat sekolah dengan kondisi perjalanan yang sangat ekstrem
  • Ada orang tua siswa yang sengaja merekam perjalanan dan mengunggah agar viral di sosial media, ia berharap orang luar tahu kenyataan yang terjadi di daerah
  • Para bocah itu tetap berprestasi meskipun perjalanan menuju sekolahnya jauh

 

TRIBUNJATIM.COM - Perjalanan ekstrem setiap hari ternyata harus dijalani oleh anak-anak Kampung Citamiang, Kabupaten Garut.

Anak-anak ini menjalani keseharian dengan semangat meskipun selama ini sulit untuk menyentuh kata aman dan nyaman.

Perjalanan ekstrem dan mempertaruhkan nyawa harus terus dijalani anak-anak kampung karena akses menuju sekolah yang sama sekali tidak bersahabat.

Hingga berita diturunkan belum ada perbaikan atau pengadaan akses lebih baik untuk anak-anak Desa Cikondang itu.

Potret perjalanan mereka belakangan terekam dan menjadi sorotan.

Perjuangan ekstrem

Adzan subuh baru saja usai berkumandang di Kampung Citamiang, Desa Cikondang, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut, Senin (10/11/2025).

Namun, di ujung kampung yang berbatasan dengan Sungai Cisanggiri, beberapa bocah sudah berkumpul mengenakan seragam sekolah.

Di bawah temaram lampu teras rumah warga, sejumlah siswa duduk sambil sarapan nasi yang dibungkus plastik.

Satu per satu anak lainnya berdatangan diantar orangtuanya sambil membawa senter.

Tidak sampai sepuluh menit, puluhan anak dari jenjang SD hingga SMA sudah berkumpul.

Mereka kemudian berjalan menuju jembatan rawayan sepanjang sekitar 70 meter yang hanya dibatasi tali seling baja.

Baca juga: Pembangunan Toilet Telan Biaya Rp166 Juta Setara Harga Rumah Subsidi, Kadikbud Alasan Ada Wastafel

“Hayu-hayu berangkat,” terdengar suara beberapa anak mengajak kawan-kawannya berangkat.

Setelah menyeberangi jembatan, para siswa menghadapi jalan berbatu basah sisa hujan dengan kontur menanjak dan panjang.

Medan ini harus mereka lalui sekitar tiga kilometer untuk menuju SDN Cikondang 1 yang berada di pusat desa.

Melewati medan lebih parah

Sementara siswa SMP dan SMA melanjutkan perjalanan lebih jauh melewati jalan desa yang sudah dirabat beton.

Perjalanan melewati hutan kecil dan kebun yang masih gelap inilah yang menurut para siswa paling menakutkan. Karena itu, mereka selalu berangkat bersama-sama.

Sekitar satu jam perjalanan, mereka tiba di saung kecil di tepi sawah untuk beristirahat sejenak.

Dari titik ini, rombongan mulai terpecah menjadi beberapa kelompok.

Berganti sepatu

Tiba di ujung kampung Cikondang, para siswa mengganti sandal yang sejak dari rumah dibungkus plastik dengan sepatu sekolah.

Sandal mereka ditata rapi di sebuah saung berukuran kecil dan baru dipakai kembali setibanya mereka pulang.

Nazwa (15), siswi kelas delapan SMPN 4 Cisompet, mengatakan dirinya tetap berkeinginan melanjutkan sekolah hingga SMA meski harus berjalan jauh.

Hal serupa disampaikan Aos (13), siswa kelas enam SDN Cikondang 1.

Ia mengaku tetap bersemangat berangkat sekolah bersama teman-temannya meski harus berjalan saat hujan.

Ingin orang luar tahu kondisi

Anita (27), orangtua siswa, hampir setiap hari mendampingi para anak berangkat sekolah. Ia kerap membuat rekaman perjalanan mereka dan membagikannya di media sosial hingga mendapat perhatian warganet.

“Saya ingin orang di luar melihat dan berharap jalannya bisa diperbaiki, kasihan anak-anak,” kata Anita.

Ayat Hidayat (32), anggota BPD Cikondang, mengatakan perjuangan anak-anak Citamiang sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu.

Pada 2014, pemerintah membangun jembatan rawayan baru menggunakan bantuan luar negeri, dan beberapa tahun terakhir jalan mulai diperkeras, meski belum seluruhnya.

“Dulu jembatannya lebih parah dari sekarang,” jelasnya.

Baca juga: Pemkab Ponorogo Benarkan Penggeledahan di Ruang Kerja Bupati dan Sekda, KPK Angkut 3 Koper

Ayat menyebut akses utama kampung masih sulit dilalui kendaraan.

Warga yang sakit biasanya ditandu dulu ke jalan utama sebelum dijemput ambulans.

Berprestasi

Kepala SDN Cikondang 1, Neli Andriany, mengatakan siswa dari Citamiang dikenal memiliki prestasi yang baik, termasuk seni tradisional pupuh Sunda.

“Rata-rata masuk sepuluh besar. Semangat mereka bagus,” ujar Neli.

Namun, ia mencatat dalam beberapa tahun terakhir prestasi akademik menurun sejak mulai adanya akses listrik dan jaringan telepon yang memungkinkan anak-anak menggunakan telepon genggam.

Meski begitu, semangat mereka untuk tetap bersekolah disebut tidak surut.

Pada upacara Hari Pahlawan, Neli menyampaikan pesan bahwa anak-anak juga sedang berjuang seperti pahlawan untuk masa depan mereka.

“Semoga mereka bisa melanjutkan sampai perguruan tinggi,” ucapnya.

Penyebab sulit akses

Akses buruk anak-anak di pedalaman Indonesia menuju sekolah setiap hari disebabkan oleh kombinasi faktor geografis, infrastruktur, ekonomi, dan sosial.

Secara geografis, banyak wilayah pedalaman terletak di daerah pegunungan, hutan lebat, atau pulau terpencil yang sulit dijangkau.

Kondisi alam seperti sungai besar tanpa jembatan, jalan berlumpur saat musim hujan, dan jarak antarpermukiman yang jauh membuat perjalanan ke sekolah menjadi sangat sulit.

Dari sisi infrastruktur, pembangunan jalan, transportasi umum, dan fasilitas pendidikan di daerah-daerah terpencil masih sangat terbatas karena minimnya anggaran dan sulitnya akses logistik.

Baca juga: Konflik Yai Mim dengan Sahara Masuki Babak Baru, Polresta Malang Kota Segera Gelar Perkara

Faktor ekonomi juga berperan, karena banyak keluarga di pedalaman hidup dalam keterbatasan sehingga tidak mampu menyediakan sarana transportasi yang layak bagi anak-anak mereka.

Selain itu, faktor sosial seperti rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kekurangan tenaga guru di daerah pedalaman turut memperparah kondisi tersebut.

Semua faktor ini saling terkait dan menciptakan lingkaran masalah yang membuat anak-anak di pedalaman menghadapi tantangan besar untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Berita viral lainnya

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved