Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Mang Jailani 40 Tahun Jadi Tukang Gali Kubur Tapi Tak Pernah Digaji, Harus Hidupi 9 Anak

Inilah cerita Jailani atau Mang Jai, tukang gali kubur sekaligus penjaga makam yang tak pernah dapat gaji selama 40 tahun.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Ani Susanti
KOMPAS.com/HERU DAHNUR
TUKANG GALI KUBUR - Jailani atau Mang Jai (65) penggali makam di TPU Bukit Lama, Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung saat ditemui Senin (24/11/2025). Ia sudah 40 tahun menekani pekerjaan ini tanpa upah tetap. 
Ringkasan Berita:

TRIBUNJATIM.COM - Inilah cerita Jailani atau Mang Jai, tukang gali kubur sekaligus penjaga makam yang tak pernah dapat gaji selama 40 tahun.

Pria berusia 60 tahun itu tampak menggali kuburan di pemakaman umum Bukit Lama, Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, saat ditemui pada Senin (24/11/2025).

Kala itu Mang Jai harus menyiapkan dua kuburan sekaligus untuk jenazah dua perempuan yang akan dimakamkan sebelum petang.

Tak banyak tanah kosong yang tersisa.

Mang Jai harus jeli melihat sedikit ruang kosong dan menggalinya untuk penghuni baru.

Baca juga: 19 Tahun Mbah Suwardi Tinggal di Makam Sejak Istri Meninggal, Tiap Kamis Kumpulkan Uang Rp 100 Ribu

"Sudah sering tumpang tindih. Kadang bertemu tengkorak, tidak tahu identitasnya kami pindahkan," kata Mang Jai di Pemakaman Bukit Lama, Senin.

Pemakaman Bukit Lama lokasinya berdekatan dengan Pasar Pagi, menempati lahan sekitar tiga hektar.

Pemakaman ini diyakini sudah ada sejak dua abad lalu, merujuk pada salah satu nisan yang bertuliskan tahun 1890.

Mang Jai sendiri telah melakoni pekerjaannya sebagai petugas makam selama lebih dari 40 tahun.

Ia bekerja untuk menjaga kebersihan makam sekaligus menggali kubur.

Selama berkecimpung sebagai petugas makam, tak ada honor tetap yang diterima Mang Jai.

Bahkan, saat pandemi Covid-19, Mang Jai tetap aktif menyiapkan lubang kuburan, meskipun tidak pernah menerima insentif.

"Insentif Covid katanya jutaan, saya tidak pernah menerima, padahal yang dikuburkan sudah macam-macam terjangkit dan sebagainya," ungkap Mang Jai, melansir dari Kompas.com.

Ikhlas Tak Dapat Upah Tetap

Namun, bagi Mang Jai, pekerjaan menggali kubur atau merawat makam memang bukan soal mendapat upah tetap, melainkan bernilai ibadah dari sisi agama.

"Kami kalau gali kubur tidak pernah meminta dan tidak boleh meminta dibayar. Kalau ada yang memberi seikhlasnya diterima," ujar Mang Jai.

Atas dedikasinya itu, rezeki Mang Jai memang tidak masuk melalui pintu makam.

Ia justru mendapat bantuan sosial untuk kategori warga rentan lanjut usia.

Selain itu, Mang Jai juga mendapatkan tambahan penghasilan dari statusnya sebagai pengurus Rukun Warga (RW).

"Warga biasanya ada iuran kematian, jadi saat musibah tidak dibebankan lagi. Kadang diambil dari sana untuk penyelenggaraan jenazah karena iuran sifatnya tidak menentu," ucap Mang Jai.

Dari penghasilan tersebut, Mang Jai berusaha membiayai sembilan anaknya dari empat istri yang sudah kawin cerai.

Selama melakoni pekerjaan sebagai petugas makam, Mang Jai mengaku tidak pernah bertemu hal-hal yang aneh, baik secara langsung maupun dalam mimpi.

"Kalau bertemu tengkorak manusia wajar, namanya juga makam. Beda kalau ketemu tengkorak sapi, baru aneh, tetapi tidak pernah ketemu yang aneh-aneh," ujar Mang Jai sembari tertawa.

Ia pun menegaskan bahwa niat petugas makam bernilai ibadah sehingga harus dilaksanakan dengan sabar dan pikiran yang jernih.

"Kalau bertemu tengkorak, kami kubur ulang agar tidak terganggu untuk kedua kalinya," ucap Mang Jai.

Dia pun berharap, pemerintah juga memberi perhatian dalam pengelolaan makam, mengingat lahan yang semakin terbatas.

"Jangan sampai terabaikan, kalau sudah ada yang meninggal baru ingat," pesan Mang Jai.

Kisah Lain

Sementara itu, inilah kisah Mbah Suwardi yang 19 tahun tinggal di makam dan mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia.

Kakek berusia 76 tahun itu tinggal di Pemakaman Tuan Marekan, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Ia merasa tenang selama tinggal di pemakaman tersebut.

“Tenang, tidak kemrungsung,” ujar Suwardi, Jumat (21/11/2025) sore.

Saat ditemui, Suwardi duduk santai sambil menghisap lintingan tembakau di pintu gubuk seng ukuran 1,5 meter persegi.

Tatapannya tenang memandang Kali Jajar di tepi makam, seolah menikmati waktu yang terus mengalir.

Sejak selesai membersihkan makam dan memasak, ia duduk di kursi papan yang juga menjadi tempat tidurnya.

“Saya setiap hari di sini, tidur juga di sini,” ujarnya, dikutip dari Kompas.com.

Tempat itu hanya cukup untuk satu orang karena di dalamnya juga terdapat kijing Tuan Marekan, tokoh yang namanya diabadikan untuk pemakaman tersebut.

Baca juga: Sosok Bripka Joko Hadi Jadi Tukang Gali Kubur Sejak SMP, Tolak Tawaran Sekolah Perwira dari Kapolri

Warga Desa Cabean itu bercerita, hidupnya dulu normal: punya istri, anak, dan rumah kontrak. Ia bekerja sebagai tukang becak dan kuli bangunan.

Namun setelah istrinya meninggal pada 2003, hidupnya berantakan.

Puncaknya pada 2006, ia putus asa dan memilih tinggal di makam.

“Tahun 2003 istri saya meninggal, tahun 2006 saya frustasi. Anak jauh di Pacitan, terus tidak bisa ngontrak,” tuturnya.

Ia sempat tinggal bersama menantu dan anak perempuannya, tetapi tidak menemukan ketenangan.

Meski begitu, setiap Idul Fitri anaknya tetap datang ke makam untuk bersilaturahmi.

“Ya ke sini setahun sekali pas Idul Fitri,” katanya.

Suwardi tetap menjaga hubungan dengan keluarga besar.

Bila ada hajatan, ia dijemput saudara untuk ikut membantu.

Selama tinggal di makam, kebutuhan makan-minum ia penuhi dari pemberian peziarah setiap Kamis sore—hari yang paling ramai peziarah.

Ia tidak pernah meminta, dan tidak memasang kotak amal.

“Dari orang ziarah pas Kamis, ada yang 5.000, ada 3.000. Tidak minta,” ungkapnya.

Setiap Kamis ia bisa mengumpulkan sekitar Rp 100.000 untuk membeli beras dan kebutuhan lain yang ia masak sendiri.

“Seratus, seratus dua lima… kadang kurang. Kalau buat jajan tidak cukup, makanya saya masak,” ujarnya.

Keseharian Suwardi adalah membersihkan makam atas inisiatif sendiri.

Jika ada warga meninggal, ia mendapatkan sebungkus nasi.

“Yang gali sudah ada sendiri, saya dikasih nasi sebungkus,” katanya.

Suwardi menyerahkan sepenuhnya hari-hari yang tersisa kepada Tuhan.

“Saya tidak punya harapan (ke manusia). Mati hidup di sini pasrah. Nanti kalau saya mati di sini juga ada yang mengurus,” ujarnya.

Ia menutup percakapan dengan renungan tentang hubungan manusia. 

“Ayam di sini, di luar saudara ya bisa musuh. Teman malah bisa jadi saudara,” tutup Suwardi.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved