Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Bubur Ketan Legendaris di Bondowoso Selalu Ramai Pembeli, Samuji Pertahankan Resep Sejak 1985

Kabupaten Bondowoso memiliki beragam kuliner nikmat. Ada bubur ketan hitam dan kacang hijau legendaris sejak 1985

Penulis: Sinca Ari Pangistu | Editor: Ndaru Wijayanto
Tribunjatim.com/Sinca Ari Pangistu
Sumaji penjual bubur ketan di Bondowoso sejak 1985 atau 40 tahun lamanya, Minggu (2/11/2025). 

Kini, sehari masing-masing menjual 6 kilogram bubur ketan hitam dan kacang hijau. Serta 15 buah kelapa untuk membuat santan.

"Bahannya banyak, tidak susah," jelas suami dari istri bernama Mariam itu.

Dia menjelaskan awal mula berjualan harga satu porsi buburnya Rp 150, terus naik setiap masa ke masa. Paling diingatnya saat masa krisis tahun 1992, harganya terpaksa naik Rp 3.000 dari harga sebelumnya Rp 2.500 per mangkok.

Kini harga per mangkok penuh Rp 5.000 saat ini. Harga terbilang murah jika melihat porsi satu mangkok full, dengan santan kental dan siraman susu putih.

Setiap hari, Samuji bisa menjual ratusan mangkok bubur. Sehingga, kisaran perolehan jualannya bisa lebih dari 1 juta per hari.

"Tidak ambil untung banyak, yang penting lancar," jelas Samuji.

Setiap hari Samuji memulai memasak bubur sejak sore hari. Dimulai dari proses merendam kacang hijau dan ketan hitam.

Kemudian, sekitar pukul 01.30 dini hari, Samuji menggodok buburnya hingga pukul 4 pagi. Setelah matang, buburnya akan dipindah ke dalam dandang berdiameter sekitar 40 cm di rombongnya. Sejak dipindah ke dandang hingga buburnya habis selalu panas.

Karena, diletakkan di atas bara arang. Arangnya pun dipilih khusus, harus arang pohon Lantoro.

"Kalau berpengaruh ke rasa mungkin tidak. Tapi kualitas arang Lantoro itu bagus. Baranya itu bagus," jelasnya.

Samuji membenarkan bahwa lain tangan maka akan berbeda rasanya. Karena itu, setiap hari dia memasak buburnya sendiri. Memasang garam, memasang gula, mengaduk, pembuatan santan, dan lainnya.

"Istri saya tidak bisa. Kurang sip gitu. Yang ngelola kasih garam, ya saya. Istri tidak tahu," jelasnya.

Karenanya, jika dia sudah pensiun diperkirakannya tak akan ada yang bisa meneruskan usahanya.

Selain karena rasanya bisa jadi tak sama. Selain itu, dua anaknya sudah bekerja di kedinasan dan ada yang sudah menikah di Kediri.

Samuji mengaku rombongnya ini sudah 4 kali berganti. Dia membuat sendiri rombong berukuran panjang 2 meter dan lebar sekitar 1 meter. Agar sesuai dengan kebutuhannya. 

Sumber: Tribun Jatim
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved