TOP 5 Nasional
TOP 5 Nasional dari Dana First Travel Dipakai Beli Rumah Sampai Pengadaan Heli AW-101
Berikut lima berita terpopuler Nasional di Tribunnews.com pada Selasa (22/8/2017):
Penulis: Edwin Fajerial | Editor: Edwin Fajerial
Dirinya berharap, kedepan hanya ada satu Soksi.
"Kunci munaslub Soksi ada di DPP Golkar, kami menaruh kerpercayaan kepada DPP Golkar. Untuk bersikap kondusif menyelesaikan dualisme. Tidak bisa satu tahap sekaligus tapi jadi efektif progresif. Niat dan tekad kami kuat untuk rekonsilias," katanya.
Sebelum munas, SOKSI akan menggelar rapat pimpinan nasional (rapimnas). Hal itu dilakukan untuk memilih Ketum SOKSI yang baru.
"Ini juga menyangkut pemilihan Ketua Umum Soksi lima tahun kedepan. Semua kader Soksi bisa mencalonkan diri sesuai syarat yang diatur," kata Ali
Ali mengatakan DPP Partai Golkar telah mengundang semua pihak untuk melakukan munas. Namun Ali mengatakan Ketua SOKSI kubu Ade Komarudin tidak bersedia hadir.
"DPP Golkar telah mengundang semua pihak, tetapi hasilnya sampai hari ini Saudara Ade Komarudin tidak mau melakukan munas bersama. Bagi kami, SOKSI ini tidak boleh disandera siapa pun. Maka dari itu, harus munas," ujar Ali.
Ali menjelaskan munas akan tetap dilakukan meski Ade Komarudin tidak bersedia hadir. Sebab, menurutnya, masih banyak kader yang ingin bersatu.
"Kami tetap berprinsip rekonsiliasi, meskipun institusinya tidak bersedia. Tetapi banyak orang orangnya yang bersedia bersatu," kata Ali.
5. Anggota Komisi I DPR: Prosedur Pengadaan Heli AW-101 Sudah Benar
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Nasdem Supiadin Aries Saputra mengatakan, proyek pengadaan helikopter Augusta Westland (AW)-101 tidak menyalahi prosedur.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan bos PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.
Masalahnya ada pada proses penunjukkan PT Diratama Jaya Mandiri sebagai vendor proyek tersebut yang diduga telah dilakukan secara melawan hukum.
Irfan sebagai bos PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter AW-101 di TNI AU tahun anggaran 2016-2017.
"Proses pengadaannya sudah benar. Bukan soal prosedur. Karena saya sudah tanya ke Agus (Marsekal TNI Purn Agus Supriatna), KSAU lama. Kalau saya baca keterangan danpuspom dan Panglima. Disitu ada seslisih harga mark up. Itu masalahnya. Prosedur bener kalau enggak. Nggak mungkin itu pesawat ada disini," kata Supiadin dalam diskusi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/8/2017).

Selain itu dirinya menjelaskan, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) belum menemukan adanya kerugian negara, seperti yang disangkakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
"Ya itu lah, kita akan tanyakan kepada Panglima (Gatot Nurmantyo) kenapa kerugian negara, karena secara prosedur tidak ada masalah, kalau prosedur tidak dijalani tidak mungkin pesawat itu sampai ke sini. Jadi prosedurnya sudah benar," katanya.
Menurutnya, jika ditemukan adanya kerugian negara, seharusnya diserahkan kepada angkatan diinternal lebih dulu, jangan langsung mempublikasikan bahwa ada kerugian negara.
"Penggunaan anggaran itu sama, tapi dalam pengusulan Alutsita ada pada masing-masing angkatan. Tapi pengusulan itu harus di bawah pengawasan panitia, pengusul dan pengadaan yang di bawah oleh Panglima TNI dan Menhan, jadi seharusnya panglima TNI sudah tahu, tidak ada pengajuan Alutsita tiba-tiba datang ke sini Mabes TNI tidak tahu itu tidak masuk akal," katanya.
Pada April 2016, TNI AU mengadakan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus atau proses lelang yang harus diikuti oleh dua perusahaan peserta lelang. Irfan selaku Presdir PT Diratama Jaya Mandiri dan diduga pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikutsertakan dua perusahaan miliknya tersebut dalam proses lelang ini.
Padahal, sebelum proses lelang berlangsung, Irfan sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak USD 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar. Sementara saat ditunjuk sebagai pemenang lelang pada Juli 2016, Irfan mewakili PT Diratama Jaya Mandiri menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar. Akibatnya, keuangan negara diduga dirugikan sekitar Rp 224 miliar.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.