Soeharto Tak Pernah Gunakan Bahasa Asing saat Berpidato, Pemain Film G30S/PKI Kuak Alasan Sebenarnya
Pemain film Pengkhianatan G30S/PKI pernah mengungkap alasan Soeharto tak pernah berpidato pakai bahasa asing
Penulis: Januar AS | Editor: Dwi Prastika
TRIBUNJATIM.COM - Nama Soeharto bagi sebagian orang akan selalu dikenang.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang selalu melekat, tidak dapat dipungkiri Soeharto bisa dianggap sebagai tokoh besar di Indonesia.
Sebab, Soeharto merupakan orang yang pernah menjabat sebagai presiden di Indonesia selama 32 tahun.
Dalam dunia Internasional, peranan Soeharto juga tidak dapat dipandang sebelah mata.
Satu di antaranya adalah peranannya terkait konflik yang ada di Bosnia.
• Bela Mulan Jameela yang Kerap Dicibir, Dul Jaelani: Singkirkan Rasa Sinisme Terhadap Tante Mulan
Meski demikian, ada satu hal unik yang ada pada diri Soeharto.
Dalam berbagai kesempatan, Soeharto tidak pernah menggunakan bahasa asing saat berpidato.
Soeharto memang selalu berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
Tentunya hal itu berbeda dengan Soekarno.
• BREAKING NEWS - Fix, Pelantikan PAW Anggota DPRD Kota Malang akan Dilaksanakan Senin (10/9/2018)
Terkait hal itu, soerang pemain film yang juga pernah memerankan tokoh Soeharto dalam film "Pengkhiatan G30S/PKI", Amoroso Katamsi, mengungkapkan penyebab Soeharto tak pernah gunakan bahasa asing saat berpidato.
Dalam buku "Pak Harto, The Untold Stories", dia pernah menanyakan hal itu kepada orang dekat Soeharto, Gufron Dwipayana.
Menurutnya, terdapat dua alasan yang menyebabkan Soeharto selalu menggunakan bahasa Indonesia saat berpidato.
Alasan pertama karena Soeharto sangat menghargai bahasa Indonesia.
• Apakah Mundur dari PSSI usai Dilantik Jadi Gubernur Sumut? Edy Rahmayadi: Oh, Tidak Dong!
"Coba kamu lihat pemimpin-pemimpin dunia lainnya, misalnya dari Jepang atau China, mereka berpidato menggunakan bahasanya sendiri. Apalagi kalau berunding, kan mewakili bangsa, jangan sampai terjadi kesalahan karena akan berbahaya," katanya menirukan ucapan Soeharto.
Alasan lainnya, Soeharto khawatir penguasaan bahasa Inggrisnya kurang tepat untuk berunding.
"Jadi lebih baik orang lain yang ahli bahasa saja yang menerjemahkan omongan saya," lanjutnya menirukan Soeharto.
• Baru Diluncurkan, Glenn Fredly Ungkap Lagu Like Never Before Jadi Theme Song Asian Para Games 2018
Kunjungi Bosnia
Selama memimpin Indonesia, Soeharto juga banyak mengunjungi negara lain.
Satu di antaranya adalah kunjungannya ke Sarajevo, Bosnia.
• Ngurus Akta Kelahiran di Tuban Sebentar Lagi Cukup Lewat Ponsel
Mantan Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden, Sjafrie Sjamsoeddin, dalam buku Pak Harto, "The Untold Stories" mengatakan, kunjungan itu dilakukan Soeharto pada tahun 1995.
Kunjungan ke Sarajevo itu dilakukan Soeharto usai mengunjungi Kroasia.
Sjafrie mengatakan, dia mendapatkan kabar saat itu baru saja ada pesawat yang ditembaki di sekitar tempat itu.
Pesawat tersebut mengangkut utusan khusus PBB, Yasushi Akashi saat hendak ke Bosnia.
• Pakar Kebijakan Publik: Diskresi Paripurna 5 Anggota DPRD Kota Malang Dibolehkan, Asal Tak Sembrono
Beruntung insiden itu tidak memakan korban.
Dalam penerbangan dari Zagreb-Sarajevo, Soeharto sama sekali tidak mengenakan rompi pengaman, dan helm.
Padahal, menurut Sjafrie saat itu semua penumpang pesawat sudah mengenakannya.
Namun, Soeharto tiba-tiba saja menanyakan sebuah hal kepada Sjafrie.
• Pakar Kebijakan Publik: Diskresi Paripurna 5 Anggota DPRD Kota Malang Dibolehkan, Asal Tak Sembrono
"Ini tempat duduk, di bawahnya sudah dikasih antipeluru, belum"? tanya Soeharto ditirukan Sjafrie
Sjafrie kemudian menjawab, semua bagian sudah ditutup dengan bulletproof, termasuk bagian samping.
Melihat Soeharto masih tak mengenakan helm dan rompi pengaman, Sjafrie terus memutar otak.
Akhirnya, Sjafrie pun sengaja duduk di kursi yang terletak di depan Soeharto, sambil memegang rompi dan helm.
Sjafrie melakukan hal itu agar Soeharto meminta kedua benda itu, dan bersedia mengenakannya.
Namun, harapan Sjafrie justru pupus.
Bukannya mengenakannya, Soeharto justru melakukan sebaliknya.
"Helmnya nanti masukkan ke Taman Mini ya! Nanti helmnya masukkan ke (museum) Purna Bhakti," ucap Soeharto saat itu.
Tidak hanya itu, Soeharto juga meminta agar Sjafrie saja yang memegang rompi itu.
"Eh, Sjafrie. Itu, rompi itu cangking (bawa) saja. Kamu cangking saja," ujar Soeharto.
Mendapatkan permintaan dari Soeharto seperti itu Sjafrie hanya bisa pasrah, dan menaatinya.
Melewati Sniper Valley
Menjelang pesawat mereka mendarat di Sarajevo, Sjafrie menyaksikan pemandangan dari jendela pesawatnya.
Pemandangan itu berupa adanya senjata laras panjang berpeluru kaliber 12,7 mm.
Menurut Sjafrie, senjata semacam itu biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang.
Senjata tersebut terus berputar mengikuti pesawat yang ditumpanginya bersama Soeharto.
Meski demikian, Sjafrie baru memberitahukan hal itu enam jam kemudian.
Jafrie menyebut kawasan itu memang didiami banyak para sniper.
Sebab, wilayah itu memamg dimiliki oleh kedua belah pihak yang sedang berkonflik.
Meski demikian, saat turun dari pesawat tersebut Soeharto tetap tenang.
• Inilah Alasan Sebenarnya Soeharto Beri Soekarno Gelar Pahlawan Proklamasi, Sempat Picu Perdebatan
Sikap tenang Soeharto itu juga menular kepada orang sekitarnya.
"Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah?" tulis Sjafrie.
Selanjutnya, Soeharto dijemput pasukan PBB yang sudah menyiapkan VAB, Panser buatan Prancis.
Begitu kendaraan itu berjalan, Soeharto pun menanyakan sesuatu.
"Sekarang ini kita berada di mana?" tanya Soeharto ke Atase Pertahanan.
Pihak Atase Pertahanan kemudian menjawab mereka sedang berada di Sniper Valley.
