Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Jatim Duduki Urutan Pertama Provinsi yang Pejabat Publiknya Banyak Ditangkap KPK

Pusat Kajian Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana Fakultas Hukum Unair, tahun ini ada peningkatan drastis untuk pejabat publik Jatim yang ditangkap KPK.

Penulis: Fatimatuz Zahroh | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/PRADHITYA FAUZI
Mantan Ketua DPRD Malang, Yaqud Ananda Gudban duduk di kursi pengunjung sebelum sidang tuntutan di PN Tipikor di Sidoarjo pada Rabu (28/11/2018) siang dimulai. 

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia tahun ini, 2018, agaknya harus menjadi evaluasi besar bagi provinsi Jawa Timur.

Pasalnya dari catatan Pusat Kajian Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, tahun ini ada peningkatan drastis untuk pejabat publik di Jawa Timur yang tertangkap KPK.

Yang membuat Jawa Timur berada di urutan teratas dengan jumlah pejabat publik terbanyak yang kena tangkap KPK, akibat tindakan korupsi.

Capaian ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, dimana Jawa Timur menduduki posisi ketiga.

Lawan Korupsi, Caleg PSI Gelar Simulasi Bidik Koruptor di Malang

Sekretaris Pusat Kajian Anti Korupsi dan Kebijakan Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Iqbal Felisiano, mengatakan sejak tahun 2017-2018 ada sebanyak 12 kepala daerah yang tercokok KPK

Itu ditambah dengan lebih dari 50 anggota DPRD yang juga tertangkap KPK, dimana terbanyak diduduki oleh Kota Malang.

"Trennya di Jatim meningkat untuk pejabat publik yang tersangkut kasus korupsi dan ditangkap oleh KPK. Di tahun 2016 -2017 ada di peringkat kedua, lalu pada 2017-2018 naik kelas di urutan pertama nasional. Sayangnya, naik kelasnya untuk hal yang negatif," kata Iqbal, pada Sabtu (8/12/2018).

Menurut Iqbal ada beberapa faktor yang menyebabkan Jawa Timur banyak terjadi praktik tindakan korupsi, gratifikasi, maupun penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi dan atau golongan.

Peringati Hari Anti Korupsi, Maruli Hutagalung Akan Gelar Acara Bertemakan BERANI

Pertama, adalah lemahnya pengawasan internal.

Di pemerintahan sendiri bersama sejumlah lembaga keamanan yang berlaku sebagai pengawas di Jawa Timur cukup banyak. Namun nyatanya, pengawasan internal tidak cukup mampu untuk mencegah dan menindak adanya korupsi. Bahkan mayoritas yang menangkap dan mengungkap kasus korupsi di Jawa Timur adalah KPK, yang notabene ada di pusat.

Kedua, adalah faktor integritas.

Iqbal mengatakan integritas menjadi faktor benteng akhir seseorang akan melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak.

Serta, dari banyaknya kasus korupsi yang ada di Jawa Timur, Iqbal mengatakan ada sejumlah modus operasi yang terjadi adalah masalah conflict of interest.

"Misalnya, bisa jadi sebenarnya pejabat ini tidak ada niat buruk untuk melakukan korupsi, tapi ada konflik di dirinya yang akhirnya ia memutuskan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu. Contohnya anggaran titipan, ia membuat sistem anggaran yang posnya longgar, agar bisa dimanfaatkan oleh kepentingan dirinya atau kelompoknya, atau partai pengusungnya," kata Iqbal.

Kasus anggaran titipan ini yang akhirnya juga banyak membuat pejabat publik akhirnya harus merasakan hidup di bui. Yang tentunya ke depan menurutnya harus diubah, agar sistem pemerintahan di Jawa Timur juga menjadi lebih baik.

Selain itu, meningkatnya tren pejabat publik Jatim yang tertangkap KPK juga disebabkan karena rendahnya vonis yang ditetapkan pada terpidana korupsi.

Iqbal mengatakan, bisa dihitung jari pejabat publik yang mendapatkan vonis maksimal setelah melakukan korupsi yang jelas merugikan negara.

Rata-rata vonis yang dijatuhkan pada terpidana korupsi adalah 1,5 tahun hingga 2,5 tahun.

"Maling saja hukuman yang dijatuhkan maksimal. Sedangkan untuk terpidana korupsi rata-rata hanya 1,5 sampai 2 tahun saja. Rendahnya hukuman ini tidak menimbulkan untuk efek jerea," katanya.

Terlebih saat ini, aturan untuk pencabutan hak politik juga tidak diberlakukan.

Mantan koruptor juga masih diperbolehkan untuk maju mencalonkan diri sebagai legislator.

Adapun pemberlakukan pencabutan hak politik koruptor hanya diberlakukan untuk sementara waktu, sehingga tidak ada efek ketakutan untuk melakukan tindakan korupsi yang serupa.

Di sisi lain, Iqbal juga menyoroti tentang commitmen fee yang masih berjalan di sejumlah pemerintahan daerah. 

Ini dilakukan pejabat daerah dengan pihak ketiga yang mengerjakan proyek-proyek pengadaan maupun proyek infrastruktur di suatu kabupaten kota.

Praktek memberikan commitmen fee kerap dianggap legal oleh pihak swasta untuk dilakukan ke pejabat publik.

"Memang commitmen fee di dunia bisnis dilegalkan, tapi kalau kaitannya dengan pemerintah tentu itu tidak boleh dilakukan. Ini yang memancing orang untuk curang dan akhirnya mengarahkan untuk melakukan penyalahgunaan kewenanga, dan juga penyuapan," katanya.

Untuk itu, Iqbal menegaskan di momen ini harus memicu semua elemen untuk bersama-sama melawan korupsi.

Bahwa korupsi adalah bahaya laten yang harus diperangi oleh semua pihak.

Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIT) yang merupakan gabungan dari Kejaksaan Agung bersama Kepolisian dan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) harus lebih tegas dan berani memerangi korupsi.

Itu termasuk juga pemerintah.

Masyarakat sudah diberikan payung hukum untuk melaporkan segala tindakan yang bisa jadi indikasi adanya penyuapan, penyalahgunaan kewenangan dan juga penyuapan serta korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik.

"Itu yang masih belum terbentuk, partisipasi pengawasan dari masyarakat. Bisa jadi masyarakat juga masih belum merasa aman untuk melaporkan, takut ada ancaman keamanan dan dampak yang justru membahayakan pelapor," pungkas Iqbal.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved