Uang Kembalian Pakai Permen Dikeluhkan Mahasiswa UB Malang ke Kepala Perwakilan BI Jatim
Sejumlah pertanyaan menarik dilontarkan peserta kuliah tamu Banking Lecture Update Series di FEB Universitas Brawijaya (UB) Malang, Kamis (14/2/2019).
Penulis: Sylvianita Widyawati | Editor: Arie Noer Rachmawati
TRIBUNJATIM.COM, KLOJEN - Sejumlah pertanyaan menarik dilontarkan peserta kuliah tamu Banking Lecture Update Series di FEB Universitas Brawijaya (UB) Malang, Kamis (14/2/2019).
Antara lain soal kembalian uang belanja yang masih ada saja toko yang menggantinya dengan permen.
Misalkan kurang Rp 200 diberi permen satu. Kualitas permennya bisa juga dibawah angka itu.
Hal ini terjadi di supermarket atau ritel jaringan.
• Isi Kuliah Tamu di Stikosa AWS, Reino Barack Terdiam Sejenak Dapat Pertanyaan ini dari Mahasiswa
• Dahlan Iskan Isi Kuliah Tamu di Unitomo Surabaya, Dianggap Sosok yang Komplit Oleh Rektor
• Selain Beri Kuliah Tamu di ITS Surabaya, Menperin Juga Lakukan Hal Ini untuk Mahasiswa ITS
Pembicara kuliah itu adalah Difi Ahmad Johansyah, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Timur dan Setyo Tri Wahyudi, KPS Ekonomi, Keuangan dan Perbankan FEB UB.
Temanya "Urgensi Sistem Pembayaran dan Peran Strategis Bank Sentral Dalam Penguatan Sektor Keuangan di Indonesia".
"Saya mau menanyakan sistem pembayaran dimana uang diganti dengan permen. Ini sangat riskan," kata mahasiswa pascasarjana di acara itu.
Alasannya karena tidak ada uang receh. Sementara ketika ia beli susu ketika kekurangan uang receh ia mencoba membayar dengan permen malah dimarahi.
Fenomena ini terjadi hingga saat ini. Posisi konsumen lemah ketika tidak ada kembalian uang receh.
Difi tak memungkiri itu masih ada.
• OJK Jatim Dorong Lembaga Perbankan Tingkatkan Literasi Keuangan untuk Para Penyandang Disabilitas
• Total Modal Kerja Rp 2,5 Miliar, 6 Perbankan di Jatim Tandatangani MoU Program BI Jangkau
• Bank Indonesia Luncurkan Kartu Berlogo GPN, Perbankan: Kami Sudah Siap
"Fenomena itu memang ada. Dari Aprindo juga pernah minta uang receh atau logam ke kita. Masalahnya, beberapa pihak merasa berat mentransaksikan karena biayanya besar," jawab Difi.
Yaitu nilainya kecil, tapi beratnya besar, sehinggga ada peritel yang melakukan itu (mengganti permen) karena kekurangan uang receh.
Sebab out flow uang receh cukup besar di ritel, sehingga kurang cepat mendapatkan lagi.
"Uang recehnya keluar terus buat kembalian," katanya.
Untuk mengatasi itu, ia punya trik pribadi yaitu memiliki dompet khusus uang receh.
Misalkan belanja habis Rp 9.250, ia membayar dengan uang Rp 10.250. Jadi, ia mendapat pengembalian Rp 1000 yang relatif gampang.
"Mungkin dengan cara itu, peritel juga bisa memenuhi kebutuhan uang recehnya buat pengembalian," kata Difi.
Sementara itu, Setyo Tri Wahyudi PhD, Dosen FEB UB memaparkan tentang kondisi sekarang dimana masyarakat senang belanja online.
"Daripada belanja ke mall. Repot. Parkir saja susah. Dengan online, pembeli dipermudah tanpa repot keluar rumah," kata dia.
Ia melihat toko-toko di mall ada juga yang mau tutup.
Di Jakarta sudah terasa di Tanah Abang. Kalaupun ada toko yang bertahan tinggal melayani pasar lokal.
Sedang yang menjangkau pasar yang luas bisa menggunakan online termasuk penggunakan media sosial.
Pembayaran online shopping menggunakan pembayaran non tunai.
Tantangan adalah kebijakan antar instansi diharapkan tidak saling mematikan misalkan BI dan Kemenkeu.
Namun, ia mengingatkan agar yang sudah mindset suka online, agar hati-hati bertransaksi.
• Isi Kuliah Umum di IPDN, Pakde Karwo Tekankan Pentingnya Leadership dalam Birokrasi pada Para Praja
• Pesan Gus Ipul Buat Mahasiswa Saat Beri Kuliah Tamu di Untag Surabaya
• Cerita Nur Aini, Gadis Surabaya Jual Amplop & Sampul Plastik STNK di Depan Samsat Demi Biaya Kuliah
"Jangan kerap pakai mobile banking di area wifi. Nanti kena kasus. Ini perlu diperhatikan," sarannya.
Sementara itu Difi melihat belanja online sebagai sesuatu yang harus diberi dukungan karena itu memudahkan customer.
"Jadi, dari BI kita mendukung seperti ini, dan dampaknya positif bagi perekonomian. Karena transaksi semakin banyak ya," katanya.
Namun ia melihat transaksi tunai itu tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Akan tetap ada karena masyarakat terpencil masih menggunakan uang fisik.
Meski belanja online gampang, ia menyarankan jangan terlalu banyak belanja konsumtif.
"Kemudahan itu kan sebenarnya agar semakin sering berbelanja. Tapi untuk masyarakat Indonesia belanjalah seperlunya. Walaupun banyak belanja harus hati-hati juga," paparnya. (Surya/Sylvianita Widyawati)