FAKTA Kondisi Tahura Bukit Soeharto Calon Ibu Kota Baru, Sudah Tak Maksimal dari Sisi Ekologis
Bilamana Tahura Bukit Soeharto dipilih sebagai lokasi pemindahan ibu kota Indonesia, alangkah baiknya bila nanti dijadikan perumahan
Penulis: Elma Gloria Stevani | Editor: Arie Noer Rachmawati
TRIBUNJATIM.COM - Sejauh ini pelaku usaha tambang batubara di sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto memiliki banyak pandangan terkait rencana pemindahan ibu kota negara ke hutan konservasi seluas 67 ribu hektar tersebut.
Direktur PT Bintang Alam Rezeki, kontraktor tambang batubara mengakui rencana pemindahan ibu kota negara tidak terlalu berdampak bagi usahanya.
Meskipun wilayah operasionalnya berada di Kelurahan Bentuas, Palaran yang jaraknya sekitar 20 km dari Tahura Bukit Soeharto.
• Jokowi Kunjungi Dua Calon Ibu Kota, Bukit Soeharto dan Palangkaraya, Calon Mana Pilihan Presiden?
Tampaknya lahan seluas 169 hektare yang sudah mereka gali akan segera ditutup dan menjalani tahap reklamasi meskipun sudah beroperasi selama 10 tahun sejak 2009.
Sehingga lahan yang mereka pulihkan menjadi milik warga dan menggunakan sistem bagi hasil dan menyewa ke negara untuk dikembalikan.
"Paling, reklamasi lahan yang dibebaskan bisa dikerjasamakan atau diambilalih pemerintah," katanya, Jumat (17/5/2019).
Terlebih lagi bila lokasi ibu kota baru nantinya yaitu di Tahura maka diperdiksi akan lebih mudah dan potensial direklamasi dan dikerjakan.
Semisal menjadi perumahan pasalnya lahan tersebut merupakan lahan eks tambang.
Ia pun mendukung rencana pemindahan ibu kota bila pengembangan permukiman ibu kota menyebar ke lahan yang dibuka dan rata.
Sedangkan, Peneliti Fakultas Kehiutanan (Fahutan) Universitas Mulawarman Samarinda, Dr Rustam Fahmy S.Hut M.Hut menjelaskan bahwa terdapat banyak kerusakan yang timbul akibat aktivitas pertambangan.
Rustam menegaskan ada beberapa instansi pemerintahan yang membawahi Tahura Bukit Soeharto dalam menjaga dan mengawasi kelestarian alam pada hutan ini.
Hanya saja keamanan yang diupayakan oleh instansi tidak sejalan dengan kenyataan yang yang ada yatu kerusakan di dalam hutan raya ini.
Ditambah lagi bila menyinggung soal pemukiman di sekitar Tahura, maka gangguan sulit ditahan oleh pihak manapun yang mengatasnamakan negara, sejenis BKSDA, Dinas Kehutanan dan instansi pemerintahan lainnya.
Adapula masalah perambahan hutan untuk pembangunan area perdagangan di sepanjang Tahura.
Belum lagi eksploitasi batubara yang dilakukan di Tahura kini tengah menjadi permasalahan yang harus dihadapi bersama.
Sehingga dengan adanya masalah tersebut malah menambah pelik persoalan taman kebanggan rakyat Kalimanatan Timur ini.
• Ibu Kota Negara Bakal Pindah, Rhenald Kasali Sebut Peran Jakarta Sebagai Kota Dagang Tak Berkurang
Dalam hal ini, Rustam menyatakan dengan tegas, Tahura Bukit Soeharto sudah tidak maksimal bila dilihat dari sisi ekologis.
"Meskipun, Tahura Bukit Soeharto masih dijadikan area untuk pendidikan oleh beberapa universitas negri di Kaltim. Seperti, Unmul Samarinda dan Politekhnik (Poltek) Negri Samarinda. Dan sampai saat ini pun, tahura masih menjadi Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus untuk penelitian dan pendidikan," paparnya.
Rustam juga membeberkan konsep Ibu Kota Hijay bisa jadi daya jual lebih bagi Tahura sehingga pemerintah dapat melaksanakan pembangunan secara masif.
Dengan demikian, dijelaskan Rustam alangkah baiknya bila pemerintah mampu mengakomodir daerah sekitar Tahura untuk dijadikan ruang terbuka hijau yang berada di tengah-tengah ibu kota negara natinya,
• Jokowi Kunjungi Dua Calon Ibu Kota, Bukit Soeharto dan Palangkaraya, Calon Mana Pilihan Presiden?
Lantas tahukah anda bagaimana kondisi Bukit Soeharto sebenarnya?
Bukit Soeharto terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara namun sebagian orang Indonesia mungkin belum cukup mengetahui kondisi karakteristik kawasan Bukit Soeharto yang menjadi salah satu alternatif wilayah ibu kota baru Indonesia.
Melansir dari Wikipedia, kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto terletak di dua wilayah Kabupaten di Kalimantan Timur, yakni Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara (PPU).
Kawasan ini memiliki luas kurang kurang lebih 61.850 hektare.
Bukit Soeharto dijadikan kawasan taman hutan raya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, tentang Perubahan fungsi Taman Wisata Alam Bukit Soeharto seluas ± 61.850 hektare yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur menjadi Taman Hutan Raya.
Tujuan Penunjukan wilayah ini adalah untuk melindungi, menjaga kelestarian dan menjamin pemanfaatan potensi kawasan dan berfungsi sebagai wilayah untuk koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli yang dapat dipergunakan untuk kepentingan penelitian, pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
• Perjalanan Jokowi Mencari Ibu Kota Baru Pengganti Jakarta, Bukit Soeharto hingga Segitiga Kalteng
Untuk dapat mengakses kawasan Bukit Soeharto bisa ditempuh dengan 2 cara.
Pertama adalah melalui Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan.
Dari Balikpapan ke kawasan Bukit Soeharto bisa ditempuh dalam waktu kira-kira 1 jam.
Cara kedua adalah melalui Bandara APT Pranoto di Samarinda.
Selanjutnya bisa disambung dengan perjalanan darat yang memakan waktu kira-kira 1,5 jam.
Dilansir dari Tribunkatim.co, diberi nama Bukit Soeharto karena Presiden ke 2 Indonesia, Presiden Soeharto pernah melintasi daerah tersebut ketika melakukan perjalanan darat dari Balikpapan ke Samarinda.
Ditambah lagi, saat itu penguasa orde baru dikenal memberi perhatian terhadap kawasan hutan di sana.
Namun, sayangnya kawasan Bukit Soeharto dapat dikatakan mudah terbakar, pasalnya sudah beberapa kali kawasan ini dilanda kebakaran hebat terutama saat musim kemarau.
Hal ini dikarenakan, tepat di bawah lapisan tanah kawasan Bukit Soeharto terdapat batu bara yang rawan terbakar.
Ada Aktivitas Tambang
Bukit Soeharto masih berstatus Taman Hutan Raya yang dilingkupi dengan aktivitas pertambangan.
Bahkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim sempat mencium dugaan korupsi di dalam proses perizinan perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang menjelaskan investigasi yang ia lakukan sejak 2009 saat penetapan perubahan batas kawasan Tahura Bukit Soeharto, terdapat 44 perusahaan batu bara yang melakukan aktivitas pertambangan di kawasan Taman Hutan Raya.
Geliat aktivitas pertambangan batu bara di Taman Hutan Raya dimulai sejak keluarnya Surat Keputusan Kolaborasi oleh Kementerian Kehutanan melalui SK Menhut No.270/1991 dan SK Nomor 577/2009.
SK tersebut mencatat sejumlah perusahaan boleh memanfaatkan jalur sepanjang Taman Hutan Raya untuk jalan hauling.
SK kolaborasi ini untuk menyiasati izin yang sudah terlanjur dikeluarkan, sebab perusahaan butuh jalan akses untuk ke stockpile. Tapi jalur akses ini membelah Tahura (eks HPH).
Aparat dan Penambang Ilegal pun ternyata sempat kejar-kejaran dan alhasil dari Operasi Kegiatan Ilegal di Taman Hutan Raya berhasil meringkus 4 orang dan 1 unit ekskavator.
Selain itu, Gakkum KLHK juga menetapkan 2 aktor intelektual penambang illegal di Taman Hutan Raya, Bukit Soeharto.
"Sebenarnya sebelum 2009, sudah ada perusahaan yang masuk Tahura," kata Rupang kepada TribunKaltim.co di Samarinda, Rabu (26/12/2018).
• Lokasi Ibu Kota Baru Indonesia Akan Ditentukan Tahun 2019, Lokasi Mana kah Pilihan Presiden?
Jokowi Akan Serius Tangani Pemindahan Ibu Kota
Untuk diketahui, pemindahan Ibu Kota ini bukan tanpa alasan, melihat kepadatan penduduk yang menekan DKI Jakarta menjadi salah satu alasan adanya perencanaan pemindahan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke luar Pulau Jawa.
Di samping itu, pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta juga tidak diimbangi dengan banyak faktor sehingga dinilai sudah tidak efektif untuk menjalankan pemerintahan negara.
Dilansir dari Tribunkaltim.com, Presiden Joko Widodo menggagas kembali pemindahan Ibu Kota Indonesia yang sebelumnya sudah muncul di era Presiden Soekarno.
Pemindahan ibu kota pertama kali terjadi pada 4 Januari 1946, di mana Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII kepada Presiden Soekarno dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Ibu kota negara dipindah dari Jakarta lantaran Jakarta saat itu jatuh ke tangan militer Belanda pada 29 September 1945.
Sayangnya, Ibu Kota Yogyakarta pun bernasib serupa dengan Jakarta.
Memandang jauh ke belakang, Presiden Joko Widodo akhirnya benar-benar siap menyeriusi pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia.
Dalam acara buka puasa bersama para pemimpin negara pada Senin (6/6/2019), dilansir dari Tribunjakarta.com (grup TribunJatim.com) melalui laman KompasTV, Presiden Joko Widodo menegaskan keseriusannya dalam menangani pemindahan Ibu Kota.
"Mumpung bertemu dengan ketua dan pimpinan lembaga dan negara, saya ingin menyinggung sedikit mengenai hal yang berkaitan dengan pemindahan Ibu Kota," ucap Jokowi.
Pemindahan Ibu Kota tersebut diseriusi setelah sempat dibahas tiga tahun lalu.
"Kita serius dalam hal ini karena sejak tiga tahun yang lalu sebetulnya telah kita bahas secara internal," imbuh Jokowi.
Tak hanya itu, Presiden Jokowi juga telah meminta Bapenas agar melakukan kajian demi terrealisasinya rencana tersebut.
"Kemudian 1,5 tahun yang lalu kami minta Bapenas untuk melakukan kajian-kajian yang lebih detail baik dari sisi ekonomi, sosial politik, dan juga dari lingkungan," pungkas Jokowi.
Artikel ini telah tayang di Tribunjatim.com dengan judul Jokowi Tinjau Bukit Soeharto Calon Ibu Kota Baru, Ternyata Sempat Ada Aktivitas Tambang Ilegal