Profil Arief Hidayat, Hakim MK yang Tegas & Usir Bambang Widjojanto di Sidang Sengketa Pilpres 2019
Setelah bentak Bambang Widjojanto di sidang sengketa Pilpres 2019, nama Arief Hidayat semakin dikenal masyarakat, siapa Arief Hidayat sebenarnya?
Penulis: Elma Gloria Stevani | Editor: Adi Sasono
Dikutip dari mkri.id, Arief Hidayat tak pernah berpikir untuk menjabat sebagai hakim konstitusi. Namun pada Senin pagi tepat pada 1 April 2013 di Istana Negara, ia berdiri di hadapan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan sumpah jabatan sebagai satu dari sembilan ‘pilar’ Mahkamah Konstitusi. Tak sampai di situ, Arief pun menggantikan Moh. Mahfud MD yang mengakhiri masa jabatan yang telah diembannya sejak 2008.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut mengisahkan tak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya untuk duduk dalam posisinya sekarang sebagai seorang hakim konstitusi. Sedari kecil, ia hanya memiliki satu cita-cita, yakni menjadi seorang pengajar. Namun ketika ditanya alasannya mendalami ilmu hukum, Arief mengungkapkan sejak SMU, kecenderungan dalam dirinya tertarik pada pelajaran ilmu pengetahuan sosial.
“Saya selalu tertarik pada kasus-kasus penegakan hukum terutama karena saat itu masih ada rezim otoriter. Nama-nama seperti Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif dan Adnan Buyung menginspirasi saya untuk kuliah fakultas hukum, padahal tadinya saya berniat untuk kuliah di fakultas ilmu politik. Tapi setelah menjadi guru besar, saya memahami kalau ilmu hukum tidak bisa terlepas dari ilmu politik,” kenang pria kelahiran 3 Februari 1956.
• Posisi Ma’ruf Amin Disoalkan Bambang Widjojanto, Pakar Hukum Ungkap Fakta Berbeda: Bukan Ranah MK
Arief mengisahkan, lima tahun lalu mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, pernah mendorongnya untuk maju sebagai hakim konstitusi. Namun, karena saat itu dia masih memegang jabatan sebagai dekan, maka dorongan itu tak bisa dipenuhinya. “Menjadi seorang hakim konstitusi merupakan posisi yang mulia dan waktu itu saya belum berani mengambil posisi mulia itu,” ujarnya.
Pendidik yang Terjun Menjadi Hakim Konstitusi
Sepanjang kariernya, Arief fokus di dunia pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan generasi muda. Tak hanya itu, ia bercita-cita untuk menyebarkan virus-virus penegakan hukum kepada generasi muda. “Saya memiliki tujuan menyebarkan virus-virus bagaimana mengelola Indonesia dengan baik terutama dalam bidang penegakan hukum, tapi ketika itu saya belum berani menjadi hakim,” terangnya.
Dikisahkan Arief bahwa suatu kali ia pernah dipesankan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, jabatan yang telah dipilihnya sebagai dosen memiliki konsekuensi sebagai profesi yang tidak mungkin kaya secara materiil. Namun, lanjut Arief, meski tidak kaya secara materiil, tetapi kaya akan lmu dan penghargaan serta penghormatan dari para mahasiswa.
• Daftar Saksi Tim Prabowo-Sandiaga di Sidang Sengketa Pilpres 2019 MK, Said Didu Terlambat Datang
“Dari situ, Prof. Satjipto menjelaskan karier puncak yang harus saya raih adalah menjadi guru besar. Dan saya memperoleh (gelar) Guru Besar dari UNDIP pada 2008, selain itu menjadi Dekan adalah jabatan puncak lainnya. Amanah yang harus saya lakukan sebaik-baiknya,” tuturnya.
Kemudian, setelah selesai menjabat dekan, dia pun memberanikan diri mendaftar sebagai hakim MK melalui jalur DPR. Keberanian ini diperolehnya berkat dukungan dari berbagai pihak terutama para guru besar Ilmu Hukum Tata Negara, seperti Guru Besar HTN Universitas Andalas Saldi Isra. “Makanya ketika saya mendaftar ke DPR untuk fit and proper test, yang saya bawa adalah dukungan dari fakultas hukum dan pusat studi konstitusi dari berbagai perguruan tinggi,” paparnya.
• Faldo Maldini Sebut Prabowo Tak Akan Menang Sidang Sengketa Pemilu di MK: Pasti Lu Pengen Bully Gue
Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR, Arief mengusung makalah bertajuk 'Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945'. Dinilai konsisten dengan paparan yang telah disampaikan dalam proses fit and proper test tersebut, ia pun terpilih menjadi hakim konstitusi, dengan mendapat dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR, mengalahkan dua pesaingnya yakni Sugianto (5 suara) dan Djafar Al Bram (1 suara).
Menurut Arief, saat awal-awal mengemban amanat sebagai hakim ia berada dalam proses adaptasi karena menjadi hakim konstitusi adalah hal yang masih sangat baru baginya. “Saya menyadari saat ini masih dalam proses adaptasi sebagai hakim konstitusi. Tapi saya melihat hakim konstitusi yang mempunyai tugas tak hanya mengawal konstitusi (guardian of constitution), namun juga mengawal ideologi negara (guardian of ideology) sehingga posisi inilah yang saya sebut posisi mulia untuk kepentingan bangsa ke depan,” ujarnya.
Pakar Yuridis-Romantis
Bagi Arief, MK bukanlah merupakan lembaga yang asing. Pria kelahiran Semarang, 3 pebruari 1956 ini bukan “orang baru” di dunia hukum, khususnya hukum tata negara.
Selain aktif mengajar, ia juga menjabat sebagai ketua pada beberapa organisasi profesi, seperti Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, serta Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan. Di samping itu, Arief juga aktif menulis. Tidak kurang dari 25 karya ilmiah telah dia hasilkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, baik berupa buku maupun makalah.
• Tanggapan 2 Pakar Hukum Tata Negara Terhadap Permohonan BPN Terkait Posisi Maruf Amin di BUMN
Sebagai bagian dari friends of court, dirinya juga sering terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh MK. Ia aktif menjadi narasumber maupun menjadi juri dalam setiap kegiatan MK berkaitan dengan menyebarluaskan mengenai kesadaran berkonstitusi.