Kilas Balik
Alasan Sebenarnya Soeharto Tak Pernah Berbahasa Asing saat Berpidato, Ini Kata Pemain Film G30S/PKI
Dalam berbagai kesempatan, Soeharto tidak pernah menggunakan bahasa asing saat berpidato. Apa alasannya?
Penulis: Ani Susanti | Editor: Januar
TRIBUNJATIM.COM - Ada banyak kisah menarik tentang Presiden Soeharto.
Apalagi, Presiden Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun.
Satu di antara kisah menarik dari Soeharto adalah gayanya berpidato.
• Kesaksian Wanita Bali Lihat Kesaktian Soeharto, Hujan Setelah Tangan Sang Presiden Menunjuk Langit
Dalam berbagai kesempatan, Soeharto tidak pernah menggunakan bahasa asing saat berpidato.
Soeharto memang selalu berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
Tentunya hal itu berbeda dengan Soekarno.
Terkait hal itu, soerang pemain film yang juga pernah memerankan tokoh Soeharto dalam film "Pengkhiatan G30S/PKI", almarhum Amoroso Katamsi, pernah mengungkapkan penyebab Soeharto tak pernah gunakan bahasa asing saat berpidato.
Dalam buku "Pak Harto, The Untold Stories", dia pernah menanyakan hal itu kepada orang dekat Soeharto, Gufron Dwipayana.
• Kehidupan Soeharto Saat Tak Jadi Presiden, Cara Ajudan Mengawal Terasa Aneh, Sang Ajudan Pun Malu
Menurutnya, terdapat dua alasan yang menyebabkan Soeharto selalu menggunakan bahasa Indonesia saat berpidato.
Alasan pertama karena Soeharto sangat menghargai bahasa Indonesia.
"Coba kamu lihat pemimpin-pemimpin dunia lainnya, misalnya dari Jepang atau China, mereka berpidato menggunakan bahasanya sendiri. Apalagi kalau berunding, kan mewakili bangsa, jangan sampai terjadi kesalahan karena akan berbahaya," katanya menirukan ucapan Soeharto.
Alasan lainnya, Soeharto khawatir penguasaan bahasa Inggrisnya kurang tepat untuk berunding.
"Jadi lebih baik orang lain yang ahli bahasa saja yang menerjemahkan omongan saya," lanjutnya menirukan Soeharto. (Januar Adi Sagita)

• Agus Hernoto, Prajurit Kopassus Berkaki Satu Selalu Dicari Soeharto, Benny Moerdani Bela Mati-matian
Kesaksian Wanita Bali Lihat Kesaktian Soeharto, 'Hujan Setelah Tangan Sang Presiden Menunjuk Langit'
Inilah cerita sosok wanita pemilik warung ayam di Bali yang menyaksikan kesaktian Presiden Soeharto.
Ialah Hj. Baiq Hartini, penjual ayam Taliwang di sebuah warung kecil Kuta, Bali.
Warung itu dibuka pada tahun 1984.
Warung wanita kelahiran Lombok, 1956 ini cepat populer.
Dua tahun kemudian ia sudah membuka tujuh gerai di Bali.
• Terkuak, Soeharto Ternyata Tak Pilih Prabowo Subianto Saat Diberi 4 Nama untuk Capres, Pilih Siapa?
Dilansir dari Intisari (grup TribunJatim.com), ada sebuah cerita saat Hj. Baiq Hartini mendapat pesanan dari istana.
“Pada 1990, ada utusan dari Istana Tampaksiring meminta saya memasak untuk acara di Istana.” (Istana Tampaksiring merupakan istana yang dibangun setelah Indonesia merdeka, terletak di Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali).
Ia merasa tersanjung, rumah makan sederhana begini kok dipercaya menyiapkan makanan untuk para ajudan dan pengawal presiden.
Ia agak heran, mengapa pemeriksaan dirinya begitu ketat.
• Kisah 3 Jenderal TNI yang Dulu Permalukan Soeharto, Nasib Jadi Korban Pembunuhan Keji hingga Melarat
Selain petugas keamanan, intel, petugas kesehatan meneliti bahan makanan, dan sesudah makanan matang ada tim dokter dan petugas lab mencicipi masakan tradisional Lombok yang digelar prasmanan itu.
“Rupanya, itu acaranya ulang tahun perkawinan Pak Harto (Soeharto) dan Bu Tien (Siti Hartinah),” kisah ibu tiga anak itu.
Saat itu ia merasa bersyukur bisa berhadapan dengan RI-1 dan keluarganya, bahkan tamu-tamu penting dan terkenal yang selama ini hanya bisa diihat di televisi.
“Maklum, saya kan orang kampung, tukang warung pinggir jalan, kok bisa ketemu langsung dengan presiden,” rasa bangga menggelegak dalam suaranya.
Ia melihat, pada jamuan makan saat itu, piring Pak Harto hanya berisi tahu dan tempe, agaknya berpantang kangkung.
Sedangkan Ibu Tien berpantang tauge.
• Sebelum Lengser dari Jabatannya, Soeharto Sudah Siapkan Pengganti Dirinya: Orangnya Sudah Ada
Selesai acara di Istana Tampaksiring, rombongan pindah ke kawasan pantai Sanur, di wisma Mr. Kajima.
Baiq juga diminta menyiapkan makan malam.
Dari dapur, bersama juru masak lain, ia melihat Soeharto masuk ke dalam kamar, dan mereka menunggu-nunggu, bagaimana penampilan Jenderal Besar itu sehari-hari.
Begitu yang ditunggu keluar kamar, mereka pun bergunjing.
“Pak Harto hanya memakai kaus oblong putih dan sarung putih kotak-kotak coklat, juga memakai selop jawa. Santai sekali,” ujar istri Fathoni Akbar itu.
Soeharto memandangi para cucunya yang sedang asyik bermain di kolam renang.
• Pesan Terakhir Soeharto Sebelum Wafat Dibongkar Anak, Tutut Sampai Menangis, Ingatkan Jangan Dendam
Karena sudah sore, para ajudan dan pengasuh sibuk meminta para cucu naik dari kolam renang.
Dasar anak-anak, mereka tak mempedulikan anjuran itu.
Akhirnya Pak Harto sendiri yang turun tangan.
Ia tiba-tiba kuncul di pintu sembari memanggil cucu-cucunya dan mengisyaratkan hari mau hujan seraya menunjuk ke langit.
“Eh, tak ada semenit, hujan benar-benar turun. Kami para juru masak saling berpandangan, Pak Harto sakti kali ya! Kami saling berbisik.”

• Nasib Pilot TNI AU yang Marah Prajurit Makan Cuma Pakai Tempe, Semangat Hilang saat Ingat Soeharto
Malamnya, selepas makan malam, Pak Harto bercengkerama bersama anak dan cucunya di ruang tengah.
“Ada yang dipangku Pak Harto di paha kanan dan kirinya, ada juga yang minta dipangku Bu Tien. Suasananya hangat seperti di rumah orang biasa.”
Suara anak-anak berceloteh dan bertengkar kecil, dan terkadang ditingkahi suara Soeharto menengahi.
Selanjutnya, setelah Baiq membuka restoran ayam bakar Taliwang di kawasan Tebet Jakarta, tahun 1992, setiap kali di Istana ada acara ia selalu dilibatkan.
• Sosok & Pengalaman Tempur Kolonel Kopassus, Kisah Pernah Tampar Soeharto Tak Akan Terlupakan
Dari seringnya diundang memasak ke Istana, Ayam Bakar Taliwang Ber saudara jadi dikenal luas di Jakarta.
“Apalagi setelah para ajudan memperkenalkan saya langsung ke Pak Harto dan Ibu Tien, yang tak segan-segan mengenalkan saya juga ke para tamu.”
Pada peringatan HUT ke-50 RI, tahun 1995. Baiq juga diundang masak ke Istana.
“Saya tak menyangka, itulah terakhir kali saya bersalaman dengan Ibu Tien, sebelum beliau wafat.”