Aktivis di Lumajang Berharap Konsep Salahkan Pelaku Tindak Kekerasan Seksual Buat Efek Jera
Masyarakat tidak boleh bersimpati kepada pelaku dalam kasus kekerasan seksual. Untuk memberikan efek jera, masyarakat harus satu kata untuk
Penulis: Sri Wahyunik | Editor: Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, LUMAJANG - Masyarakat tidak boleh bersimpati kepada pelaku dalam kasus kekerasan seksual. Untuk memberikan efek jera, masyarakat harus satu kata untuk untuk pelaku yakni 'menyalahkan pelaku' dan tidak menyalahkan korban.
Hal ini ditegaskan oleh aktivis perempuan yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lumajang Irma Lawado saat diajak berbincang Surya perihal kasus tindak kekerasan seksual di Lumajang.
Kekerasan seksual yang saat ini jadi perbincangan di Lumajang adalah perkosaan bapak kepada anak kandungnya. Kasus ini saat ini sedang ditangani oleh Polres Lumajang.
Diberitakan Surya, korban sebut saja X (19) diperkosa oleh bapak kandungnya SS (44) warga Kecamatan Candipuro, Lumajang sejak usianya masih 16 tahun. X mengaku berpuluh kali diperkosa bapaknya. Kasus itupun jadi perbincangan setelah diungkap oleh Polres Lumajang.
Irma menuturkan dalam kasus tindak kekerasan seksual oleh orang terdekat (seperti bapak/paman), korban mengalami tekanan berlipat-lipat.
"Karena dilakukan oleh orang terdekatnya. Bahkan harusnya orang tua itu konsepya sebagai pelindung, namun dalam hal ini malah jadi perusak. Korban pasti mengalami tekanan berlipat-lipat," ujar Irma kepada Tribunjatim.com.
• Anak di Lumajang Diperkosa Ayah Kandung 50 Kali Selama 4 Tahun, Sang Bapak Sudah Nikah 5 Kali
• Tanggal Pernikahan Cut Meyriska dan Roger Danuarta Terungkap, Ini Bocoran Harga Cincin Kawinnya!
• Donna Harun Menikah Lagi, Ricky Harun Buka-bukaan Tentang Sosok Ayah Barunya: Alhamdulillah Baik
Tindak kekerasan seksual dalam keluarga, lanjutnya, memang cukup sulit terungkap di permukaan. Apalagi jika korban tidak memiliki teman bicara, dan mengalami tekanan seperti takut dan khawatir.
Peran teman dan lingkungan, kata Irma, menjadi penting untuk bisa mendeteksi dini tindak kekerasan seksual kepada anak yang dilakukan oleh orang terdekat. Apalagi jika korban tidak memiliki ibu atau saudara yang bisa diajaknya bercerita. Maka teman sebaya, juga lingkungan di sekolah menjadi alternatif lain.
"Bisa dengan teman sebaya, atau mungkin guru yang bisa melihat tanda klinik kejanggalan pada korban. Klinik ini tidak melulu fisik, namun bisa psikis. Mungkin anaknya pendiam dan menutup diri, ada perubahan saat bergaul," imbuhnya kepada Tribunjatim.com.
Cara-cara itu bisa menjadi deteksi dini terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak, apalagi jika terjadi di keluarga inti.
Dan jika sebuah kasus kekerasan seksual sudah terungkap, Irma menegaskan supaya jangan ada penghakiman kepada korban. "Itu yang utama, jangan sampai korban disalahkan. Harus ada satu kata yakni menyalahkan pelaku itu yang utama supaya ada efek jera kepada pelaku. Karena bisa saja ada lontaran yang menyalahkan korban," tegas Irma kepada Tribunjatim.com.
Lontaran atau pernyataan yang menyalahkan korban akan semakin menekan korban. Apalagi jika korban merupakan anak-anak dan pelakunya orang terdekat. Korban biasanya lemah dan tidak bisa melawan.
"Jangan sampai korban menjadi korban lagi. Korban harus mendapatkan pendampingan, terutama untuk menstabilkan kondisi psikologis," tegas Irma.
Kasus tindak kekerasan seksual bapak kepada anak itu sedangkan ditangani Polres Lumajang. Kapolres Lumajang AKBP M Arsal Sahban menegaskan korban sudah ditempatkan di sebuah rumah aman milik Dinas Sosial setempat.
Kasus ini terungkap pekan lalu, saat X melarikan diri dari bapaknya yang mengajak check-in di sebuah hotel di Kecamatan Senduro, Lumajang. Kepada polisi, X mengaku sudah berpuluh kali diperkosa bapaknya. Dari kacamata polisi, X mengalami tekanan psikis berlipat ganda. Karenanya, X direncanakan akan mendapatkan pendampingan dari psikiater. (Sri Wahyunik/Tribunjatim.com)