Kota Batu Butuh Dukungan Perda untuk Tekan Kekerasan Anak dan Perempuan
Ada kasus kekerasan perempuan dan anak yang masuk menjadi laporan ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Batu.
Penulis: Benni Indo | Editor: Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Setiap bulan, ada satu sampai tiga kasus kekerasan perempuan dan anak yang masuk menjadi laporan ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Batu.
Konsultan Hukum P2TP2A Kota Batu, Salma Safitri Rahayaan mengatakan hal itu saat ditemui di sela acara pelatihan paralegal kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses hak dasar di Hotel Batu Permai, Kamis (5/9/2019).
Pelatihan itu adalah bentuk kerjasama Asosiasi LBH APIK Indonesia dan Rural Women's Voices atau Suara Perempuan Desa (SPD). Salma yang juga sebagai Ketua SPD menjelaskan, Kota Batu butuh shelter untuk menangani kasus kekerasan terhadap anak.
Selain shelter, menurutnya perlu ada perda layanan hukum untuk memperkuat peran P2TP2A dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selama ini, banyak kasus hukum yang menimpa perempuan dan anak di Batu.
“Pelatihan ini untuk menyiapkan para legal di komunitas agar bisa membantu kasus hukum di masyarakat. Banyak kasus hukum pada perempuan dan anak, sementara mereka tidak bisa mengakses lembaga hukum atau pengacara,” ujar Salma kepada Tribunjatim.com.
• Cegah Adanya Frekuensi Secara Ilegal, SDPPI Gelar Goes to Campus di Surabaya
• Agnez Mo Jadi Cameo di Video Klip Megan Thee Stallion Hot Girl Summer, Tampil dengan Rambut Cornrow
• Wawancara Khusus dengan Nurul Ghufron, Capim KPK dari Universtas Jember
Dalam setahun, ada 24 hingga 26 kasus kekerasan yang terjadi di Kota Batu. Menurut Salma, hal itu harus menjadi perhatian yang serius karena bentuk kekerasan, apalagi terhadap perempuan dan anak tidak dibenarkan.
“Kasus yang dilaporkan ke Polisi sedikit. Selalu yang lebih banyak yang tidak dilaporkan,” terangnya kepada Tribunjatim.com.
Dengan banyaknya kasus yang ditangani, kata Salma, SDM yang ada selama ini kewalahan. Pasalnya, setiap satu orang hampir pasti melakukan banyak tugas, belum lagi pengeluaran biaya selama pendampingan.
“Kami tidak ada dukungan logistik, biaya dan SDM. Kami semua kerja ya sambil menulis surat. Kalau ada Perda terkait advokasi, maka ada kewajiban negara untuk menganggarkan,” terangnya.
Kata Salma, dirinya sudah lama meminta kepada Pemkot Batu untuk mengakomodir kebutuhan penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Namun hingga saat ini, belum ada realisasinya sama sekali.
“Kami sudah lama minta dan jawabannya tidak ada duit,” keluhnya.
Sementara itu, Kanit PPA Polres Batu Iptu Anton Hendry mengatakan, sebagian besar pengaduan yang masuk ke Polres Batu terkait kekerasan perempuan diakibatkan karena ketidakharmonisan suami-istri.
“Bisa jadi suami atau kepala keluarga yang tidak mendapat perlakuan kurang baik. Itu yang menunjang banyaknya laporan,” ujarnya.
Selain itu juga ada kasus perselingkuhan serta pencabulan. Kalau kekerasan terhadap anak banyak terjadi pada pelajar karena perkelahian antar pelajar.
Pada 2019, data yagn masuk ke Polres Batu untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ada 5. Sementara kasus cabul sebanyak 8, kekerasan terhadap anak ada 3 laporan yang masuk.
“Untuk prosentase, dibanding tahun kemarin lebih banyak tahun ini. Namun tahun ini lebih kecil dibanding 2017,” imbuh Anton.
Berdasarkan temuan selama ini, kekerasan terhadap istri karena desakan ekonomi. Kebanyakan kekerasan terjadi pada keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah. (Benni Indo/Tribunjatim.com)