Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Rencana Kenaikan Tarif BPJS Disebut Dirut RSUD Dr Soetomo Tak Cukup Solutif, Harus Ada Re-Skema

Direktur RSUD Dr Soetomo, dr Joni Wahyudi menyebut kenaikan tarif BPJS tak cukup solutif. Sebab, harus ada re-skemanya.

SURYA/FATIMATUZ ZAHROH
Direktur RSUD dr Soetomo dr Joni Wahyudi saat diwawancara di Gedung Negara Grahadi, Rabu (9/10/2019) 

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Direktur RSUD Dr Soetomo, dr Joni Wahyudi menyebut kenaikan tarif BPJS yang direncanakan pemerintah di 2020 tidak cukup solutif untuk mengatasi permasalahan di sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Hal itu sebagaimana dikatakan Joni Wahyudi saat ditemui di Gedung Negara Grahadi, Rabu (9/10/2019).

Menurutnya jika hanya menaikkan tarif tidak akan menyelesaikan masalah JKN.

Lebih dari itu ia menyebut butuh adanya reskema JKN dan BPJS.

BPJS Kesehatan Punya Tunggakan Rp 390 Miliar ke RSUD Dr Soetomo, Didorong Agar Segera Bayar

"Menurut saya kenaikan tarif BPJS tidak solutif. Tapi harus komprehensif. Kalau naik tarif saja tidak menjawab permasalahan yang ada. Menurut saya harus ada reskema di BPJS untuk mewujudkan JKN," kata Joni Wahyudi.

Reskema yang dimaksud Joni Wahyudi, Indonesia bisa mencontoh sistem universital coverage yang diterapkan di negara-negara maju. Seperti di Jerman ataupun di negara Scandinavia.

Di Jerman misalnya, universal coverage yang diterapkan di sana sistemnya beda jauh dengan JKN yang ada di Indonesia.

Di sana masyarakatnya tergabung dalam universal coverage namun sistemnya lebih ketat dibandingkan dengan JKN di Indonesia.

"Pada sistem universal coverage maka prevensi itu menjadi perhatian negara. Orang supaya tidak sakit itu sangat diperhatikan. Dan orang di sana dalam mengikuti program universal coverage diperhatikan secara ketat," ucap Joni Wahyudi.

316.059 BPJS Kesehatan Peserta Surabaya Terlempar dari PBI, Dewan: Warga Jangan Diberi Beban Lagi

Bahkan di negara maju tersebut, premi asuransi kesehatannya ditentukan dari kesehatan dan pola hidup dari masyarakatnya.

Misalnya berat badan menjadi salah satunya ukuran. Kemudian asupan makanan masyarakat misalnya junkfood, juga menjadi kriteria premi.

Lalu bagi yang merokok juga harus membayar lebih mahal.

Mereka tidak bisa disamakan dengan peserta universal coverage yang biasanya.

"Di sana orang yang kecelakaan karena mabuk maka tidak tercover karena alasannya karena mabuk," katanya.

Kemudian, penyakit-penyakit tertentu harus ditangani oleh dokter yang sesuai dengan keperluan penyakitnya.

Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan Dua Kali Lipat, Peserta di Sidoarjo Gusar hingga Putuskan Turun Kelas

Misalnya, dikatakan Joni Wahyudi, ibu melahirkan kalau jika normal prosesnya tidak perlu atau tidak boleh ditangani oleh dokter sesialis kandungan.

"Karena bidan lebih murah. Jadi saat sebelum melahirkan, saat pemeriksaan boleh dokter khusus. Tapi ketika sudah fix bisa normal maka ke bidan, kecuali kalau ada masalah baru dirujuk," jelasnya.

Operasi juga begitu. Dikatakan Joni Wahyudi, misalnya kalau operasi sederhana atau kecil, bisa ke rumah sakit yang mana saja.

Ketika operasi besar, maka baru ke rimah sakit khusus.

Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik Dua Kali Lipat, Pemkot Blitar Siapkan Anggaran Tambahan Peserta PBID

Kecuali pasien ingin ke rumah sakit besar sesuai kelas maka harus bayar sendiri.

"Kalau di BPJS kita, asal kelas 1 bisa ke mana saja masihan," ucapnya.

Karena itu, reskema untuk sistem BPJS di Indonesia juga harus mengarah ke sana.

Sehingga peserta BPJS saat tahu ada rencana kenaikan juga tidak merasa dirugikan ketika kenaikan tarifnya relevan dengan fasilitas dan pelayanan yang disediakan pemerintah.

"Menurut saya re-skema harus ada. Jika tidak begitu tidak komprehensif," kata Joni Wahyudi(Surya/Fatimatuz Zahroh)

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved