Jawab Kritikan Soal Pendidikan, Rhenald Kasali Luncurkan Buku Series on Education
Jawab Kritikan Soal Pendidikan, Rhenald Kasali Luncurkan Buku Series on Education
TRIBUNJATIM.COM, JAKARTA - Terpanggil oleh kritik badan-badan dunia terhadap kualitas pendidikan di tanah air, Rhenald Kasali urun rembug dalam buku barunya: Sentra, Inspiring School, Jumat (13/12/2019).
Dalam Series On Education, Rhenald menunjukkan progress yang telah dijalani unit pendidikan usia dini pada yayasan Rumah Perubahan yang dipimpinnya selama 15 tahun.
"Dengan metode Sentra kami berhasil membentuk Higher-order thinking yang biasa dikenal sebagai higher order thinking skills (HOTS) yang menjadi acuan dalam survei skor PISA,” ujarnya.
Besar kemungkinan kita telah terperangkap oleh judul higher level yang seakan-akan terpisah atau merupakan tahapan yang advance dari lower order of thinking seperti menghafal.
Karenanya kemampuan analisis dan kreasi diasumsikan akan bisa didapat pada tingkat pendidikan tinggi secara otomatis kalau kemampuan pada level dibawahnya terpenuhi pada, katakanlah level SLTA dan Universitas.
“Kenyataannya, membangun itu di atas akan sia-sia. Orang yang sudah terbentuk sulit diubah. Maka sebaiknya higher level of thinking ini dibangun embedded (menyatu) sejak usia muda,” tambahnya
“Kenyataannya, level pemahaman sudah bisa dibentuk bersamaan saat anak mulai melatih motorik kasar dan halus, bahasa, maupun rasa Percaya diri. Bahkan membangun empati dan jiwa sosial menjadi domain berpikir yang bisa dibangun sambil bermain sejak usia dini.”
Rhenald dan Elisa Kasali memaparkan pencapaian anak-anak yang dibimbingnya selama 15 tahun dan menunjukkan progres yang membanggakan, kendati anak-anak berasal dari kalangan kurang mampu.
Menggunakan studi dan hasil terbaru dalam neurosciences, Rhenald bersama Elisa Kasali menemukan ternyata untuk membentuk karakter, anak-anak sudah mampu mengenal mana yang baik dan mana yang “jahat” atau mana yang lebih baik dalam kehidupan. “Namun karena perhatian pendidik lebih ditekankan pada konten dan kognisi, hal-hal dasar yang menjadi penbentuk karakter, disiplin, kemampuan berpikir dan memahami menjadi terabaikan dan dimatikan.”
Ini tentu berakibat fatal bagi pembentukan karakter bangsa, kegairahan belajar yang menyenangkan, bahkan dalam membangun sistematika kerja serta kecakapan hidup yang sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa menghadapi tantangan-tantangan baru,” ujarnya.
Seperyi diketahui publikasi laporan Programme for International Student Assessment (PISA) selalu memantik keprihatinan pendidik Indonesia. Yang terbaru, 3 Desember 2019 lalu, laporan PISA 2018 kembali menempatkan Indonesia di peringkat bawah dari 79 negara yang disurvei.
Secara umum, kemampuan membaca, siswa Indonesia ada di peringkat 74 (sebelumnya peringkat 64), kategori matematika ada di peringkat 73 (sebelumnya 63), dan kategori kinerja sains ada di peringkat 71 (sebelumnya 62).
Selama ini, assessment dalam PISA memang berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS). Indonesia pernah mencoba memberikan soal kategori HOTS pada saat Ujian Nasional (UN) 2018 lalu. Hasilnya, siswa-siswa kesulitan karena memang dalam proses belajarnya belum terlatih dengan soal kategori HOTS.
Rupanya, taraf pendidikan yang diterima siswa selama ini lebih menitikberatkan pada menghafal, memahami, dan mengaplikasikan. Ini merupakan level bawah dan masuk kategori Lower Order Thinking Skills (LOTS).
Makin naik levelnya, siswa dituntut untuk bisa berpikir kritis, analitis, memecahkan masalah, dan melakukan evaluasi. Mayoritas siswa Indonesia, ternyata belum mencapai tahap tersebut. Itulah yang dilihat oleh Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof. Rhenald Kasali dari pengalamannya yang telah mengabdi selama 35 tahun dalam bidang pendidikan.