Jaksa Ngotot Hukuman Kebiri Untuk Bang Jek, Aprikot Menyatakan Tidak Sepakat
Muhanjar Sidik (42) alias Bang Jek, terdakwa dari komunitas LGBT yang mencabuli sejumlah anak telah divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 50 juta, subs
Penulis: David Yohanes | Editor: Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Muhanjar Sidik (42) alias Bang Jek, terdakwa dari komunitas LGBT yang mencabuli sejumlah anak telah divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 50 juta, subsider 6 bulan tahanan.
Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas putusan itu, karena hakim tidak mengabulkan tambahan hukuman kebiri.
JPU menilai, perlu ada hukuman kebiri karena jika Bang Jek tidak mau membayar untuk hubungan seks, maka tidak ada anak-anak yang mencari dan menawarinya.
Hukum kebiri dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada terdakwa.
Namun tuntutan JPU dianggap berlebihan oleh Apresiasi Waria Kota Tulungagung (Aprikot).
Menurut Ketua Aprikot, Jossie Wilson, tuntutan itu sangat tidak adil hanya gara-gara Bang Jek seorang gay.
“Kalau kasusnya Bang Jek, saya rasa tidak adil kalau harus dikebiri. Karena dia gay terus dikebiri, sangat tidak adil,” ujar Jossie.
• 3 Anak Korban Predator Seksual Perlu Pendampingan Psikososiologis, KPAI: Putus Mata Rantai
• Pastikan Keamanan Peserta Didik Saat di Sekolah, Dindik Surabaya :Dapat Pelatihan dari Kepolisian
• Dinsos Tulungagung Mencatat Ada 15 Anak Jadi Korban LGBT
Apalagi menurut Jossie, jumlah korban dalam kasus Bang Jek sangat sedikit.
Terdakwa juga tidak aktif mencari korban di antara anak-anak.
Tapi justru anak-anak itu yang datang kepada Bang Jek.
“Kecuali seperti kasusnya Reinhard Sinaga di Inggris, yang korbannya begitu banyak dan dia memperkosa,” sambung Jossie kepada Tribunjatim.com.
Meski tidak sepakat dengan hukuman kebiri kepada Bang Jek, Jossie mendukung polisi untuk bertindak tegas kepada pelaku pencabulan terhadap anak-anak.
Bahkan Jossie mengutuk tindakan itu, dan menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada polisi.
Sebab apa yang dilakukan terdakwa adalah tanggung jawab individu, bukan mewakili sikap komunitas.
“Apa yang terjadi di Tulungagung murni perbuatan pribadi, bukan mewakili komunitas. Kami mendukung polisi untuk menindak,” tegasnya.