Heboh Praktik Kawin Tangkap di Sumba, Penculikan untuk Perkawinan, 'Citra Menjerit & Meronta-ronta'
Sejumlah pegiat perempuan mendorong pemerintah daerah untuk tegas menanggapi praktik 'kawin tangkap', dianggap bentuk ketidakadilan bagi perempuan.
Penulis: Ficca Ayu Saraswaty | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM - Praktik kawin tangkap menggemparkan publik dan mendapat kecaman dari sejumlah pegiat perempuan.
Praktik kawin tangkap dinilai kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan mengatasnamakan budaya.
Praktik itu berbentuk penculikan untuk perkawinan.
Citra, perempuan yang sempat akan menjadi korban kawin tangkap, menceritakan kisah pilunya itu.
Dia menjerit dan meronta-ronta untuk melepaskan diri.
Simak kisah Citra selengkapnya di bawah ini!

Pejabat pemerintah daerah Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT ), menandatangani kesepakatan menolak praktik kawin tangkap.
Hal itu dilakukan demi meningkatkan perlindungan perempuan dan anak.
Kesepakatan itu dibuat setelah muncul video viral pada akhir Juni lalu yang memperlihatkan seorang perempuan di Pulau Sumba dibawa secara paksa oleh sekelompok pria dalam sebuah praktik yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan kawin tangkap, atau penculikan untuk perkawinan.
Menanggapi video itu, pemerintah melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyatakan prihatin.
Dia kemudian berkunjung ke Sumba pada pekan lalu untuk membahas permasalahan praktik itu, yang ia sebut sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan mengatasnamakan budaya.
• Kisah Pernikahan Berakhir Pilu, Sang Ibu Ngamuk & Hentikan Acara: Setop, Mempelai Wanita Nangis
• Iba Bupati Lumajang Bela Hak Tanah Warga Malah Dipolisikan, Istri Salim Kancil: Gak Akan Jual Tanah
Sejumlah pegiat perempuan mendorong pemerintah daerah untuk tegas menanggapi praktik 'kawin tangkap'.
Alasannya, hal itu dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang berlapis bagi perempuan dan juga menimbulkan stigma bagi korban yang berhasil keluar dari penculikan.
Adapun pengamat budaya mengatakan hingga kini perdebatan terus berlanjut terkait asal usul praktik tersebut.
Ketidaktegasan untuk menghentikannya juga dianggap sebagai pemicu kejadian terus berulang.