Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Gawai Sebagai Sarana Pendukung Pembelajaran Generasi Z

Penggunaan gawai biasa dijumpai pada generasi Z. Selain punya dampak buruk, gawai sebenarnya memiliki potensi sebagai sarana penunjang pembelajaran.

Editor: Dwi Prastika
ISTIMEWA/TRIBUNJATIM.COM
Gawai sebagai sarana pendukung pembelajaran generasi Z. 

TRIBUNJATIM.COM - Saat ini, masih banyak sekolah atau guru yang melarang siswa menggunakan gawai, terutama pada saat pelajaran berlangsung.

Di beberapa sekolah, kondisinya lebih ketat lagi, di mana siswa dilarang membawa gawai ke sekolah.

Jika diketahui terdapat siswa yang membawa gawai, maka gawai tersebut dititipkan dulu ke sekolah dan kemudian dikembalikan saat jam pulang sekolah.

Salah satu penyebab kebijakan tersebut adalah penggunaan gawai dipandang memberikan dampak buruk bagi proses pembelajaran.

Gawai menjadi kambing hitam penurunan minat siswa membaca buku. Gawai juga dipersalahkan karena siswa menjadi lebih banyak menggunakan gawainya untuk mengakses gawai daripada belajar. Gawai dicap menjadi penyebab perilaku siswa yang semakin asosial atau dengan kata lain tidak peduli terhadap lingkungan.

Penggunaan gawai secara berlebihan memang tidak baik.

Akses internet dengan kecepatan tinggi, dalam hal ini 4G membuat setiap orang dapat mengakses konten-konten negatif, baik pornografi, SARA, dan kekerasan secara jauh lebih mudah.

Orang tua menjadi curiga dan was-was saat anaknya bermain gawai sendirian.

Keberadaan berbagai media sosial cenderung membuat penggunanya semakin aktif menggunakan gawai untuk berinteraksi.

Di sisi lain, peningkatan intensitas interaksi secara online cenderung menyebabkan penurunan intensitas interaksi secara fisik. Saat ini, sangat mudah dijumpai di berbagai rumah makan atau tempat makan di mal yaitu keluarga sedang makan di tempat tersebut tetapi tidak saling sapa. Masing-masing anggota keluarga mengoperasikan gawainya.

Penggunaan gawai secara masif dijumpai pada kelompok generasi Z.

Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 sampai dengan 2010. Saat ini, generasi tersebut sedang memasuki sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi, dan sebagian kecil sudah memasuki dunia pekerjaan.

Generasi tersebut identik dengan generasi yang lahir pada masa gawai sedang dalam tahap perkembangan pesat. Dengan demikian, generasi Z memang generasi yang sangat terikat dengan gawai karena mereka mengenal gawai sejak usia dini. Oleh karena itu, usaha menjauhkan generasi Z dari gawai adalah hal yang mustahil.

Selain berbagai dampak dan potensi buruk, keberadaan gawai sebenarnya memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sarana penunjang pembelajaran. Potensi tersebut terdapat pada dua kekuatan utama gawai yang selama ini dianggap sebagai biang pengaruh negatif siswa, yaitu internet dan media sosial.

Akses internet kecepatan tinggi memungkinkan siswa untuk mengakses informasi terkait pelajaran dengan lebih mudah. Informasi tersebut juga tidak hanya teks melainkan multimedia, baik gambar, suara, animasi, maupun video. Ketersediaan informasi yang luas memungkinkan siswa mengakses pengetahuan dari berbagai sumber dan dengan demikian dari berbagai versi. Hal ini menyebabkan guru atau dosen dan buku pegangan sudah bukan lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan.

Sebagai contoh, dalam buku sejarah, pemicu perang Diponegoro secara umum terbatas pada penderitaan masyarakat dan pemasangan patok-patok yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro. Akan tetapi, dengan ketersediaan berbagai sumber di internet, dapat ditemukan berbagai ragam penyebab atau pemicu Perang Diponegoro, mulai dari persaingan antara pedagang pribumi dan asing, perdagangan candu, proyek infrastruktur, sampai dengan konflik internal keraton terkait suksesi. Di sinilah peluang sekaligus tantangan pendidikan sekarang dan peran guru sebagai fasilitator.

Guru memfasilitasi siswa untuk mengakses pengetahuan dari berbagai sumber, melakukan verifikasi dan validasi, membandingkan satu pengetahuan dari satu sumber dengan sumber lainnya, membandingkan satu informasi dengan informasi lainnya, dan pada akhirnya menarik kesimpulan dari informasi-informasi tersebut.

Aktivitas ini yang sering disebut sebagi critical thinking yang merupakan satu mata rantai dari Higher Order Thinking Skill (HOTS).  Di bidang ini, pendidikan di Indonesia dianggap tertinggal dengan negara-negara lain, salah satunya dilihat dari skor PISA tahun 2018 di mana siswa Indonesia tertinggal dibandingkan rata-rata negara OECD baik dalam bidang matematika, sains, maupun literasi.

Media sosial memungkinkan interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa dalam pembelajaran, terutama di luar kelas. Saat ini, sangat mudah ditemui antarsiswa saling berdiskusi mengenai pekerjaan rumah, tugas, ujian, maupun materi pelajaran melalui grup di media sosial. Antarsiswa juga saling bertukar jawaban pekerjaan rumah melalui media sosial. Guru kelas dan orang tua murid juga membuat grup media sosial sendiri untuk mendiskusikan hal-hal terkait proses pendidikan anak. Hal ini tentu mustahil pada 10 atau 20 tahun yang lalu.  Di masa lalu, komunikasi antara guru dan orang tua pada umumnya berlangsung pada saat pembagian rapor atau orang tua dipanggil ke sekolah karena anaknya bermasalah.

Potensi internet dan media sosial tentu jauh lebih besar daripada itu. Berbagai fitur kelas virtual, antara lain Google Classroom dapat dimanfaatkan oleh guru dan siswa untuk membangun proses pembelajaran di luar kelas.

Guru dapat membagikan materi pelajaran di ruang tersebut sehingga siswa dapat mengaksesnya kapan saja dan di mana saja. Siswa juga dapat mengumpulkan tugas-tugas atau pekerjaan rumah melalui layanan kelas virtual. Dengan demikian, kondisi siswa tidak mengumpulkan pekerjaan rumah karena lupa membawanya ke sekolah dapat diminimalkan.

Keberadaan media sosial seperti Instagram juga dapat dimanfaatkan oleh guru untuk berbagi materi pelajaran atau contoh-contoh soal dan tugas kepada masyarakat umum. Sekolah juga dapat menayangkan kegiatan-kegiatan akademik di sekolah sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban publik secara informal sekaligus meningkatkan kredibilitas sekolah.

Kata kunci pemanfaatan gawai untuk media pembelajaran adalah kepercayaan. Guru dan orang tua perlu memberikan kepercayaan kepada siswa atau anaknya bahwa siswa atau anak akan menggunakan gawai untuk kegiatan yang positif.

Di sisi lain, orang tua tetap tidak lepas tangan dalam mengatur jam penggunaan gawai pada anak-anaknya. Dalam hal ini, keteladanan menjadi sangat penting di mana orang tua juga mengatur dirinya sendiri untuk tidak menghabiskan waktu terlalu banyak dalam mengakses gawai.

Kontrol akses dapat dilakukan dengan orang tua membuatkan akun Google atau media sosial dengan benar, terutama terkait usia anaknya karena secara sistem Google akan menyaring konten-konten sesuai dengan batasan usia. 

Dr Purba Daru Kusuma/Dekan Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Telkom Surabaya

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved