Pemuda Muhammadiyah Menilai Pemberhentian Ketua KPU RI oleh DKPP Sangat Berlebihan: Tak Masuk Akal
Pemuda Muhammadiyah menilai pemberhentian Ketua KPU RI Arief Budiman oleh DKPP sangat berlebihan. Sebut tak masuk akal.
Penulis: Bobby Constantine Koloway | Editor: Dwi Prastika
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Bobby Constantine
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah memberikan tanggapan atas keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) soal pemberhentian Ketua KPU RI, Arief Budiman.
Sanksi pemberhentian tersebut dinilai sangat berlebihan.
Pemuda Muhammadiyah menilai putusan DKPP dengan Nomor 123-PKE-DKPP/X/2020 tersebut tak ada kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu.
"Kami sudah menelaah. Berdasarkan pandangan kami, tak ada substansi kepemiluan yang dilanggar," kata Ketua Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Ali Muthohirin kepada TribunJatim.com di Surabaya, Jumat (15/1/2021).
Ali berpandangan, DKPP seharusnya berpedoman pada Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017, pasal 159 ayat (3) berkaitan dengan kewajiban DKPP.
Baca juga: Tak Ada Gugatan, KPU Trenggalek Tetapkan Bupati dan Wabup Terpilih Dua Hari Setelah BRPK MK Keluar
Hal tersebut menjadi patokan utama dan mendasar bagi DKPP dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Ali menyebut duduk perkara yang terjadi merupakan proses yang wajar dilakukan secara kelembagaan. Seperti dalam hal menandatangani surat pengantar untuk menyampaikan keputusan presiden mengenai pembatalan pemecatan Evi Novida Ginting sebagai Komisioner KPU RI.
Pun soal dugaan adanya keterlibatan Arief Budiman saat menemani Evi ketika melakukan banding ke PTUN. Menurut Ali, kehadiran Arief wajar dilakukan dalam hubungan kekerabatan sebagai wujud empati.
Sehingga, Pemuda Muhammadiyah menganggap bahwa sanksi pemberhentian Ketua KPU tersebut mengada-ada.
Baca juga: Anggota Fraksi Golkar DPRD Jatim Sabron Djamil Pasaribu Meninggal, Sarmuji: Kehilangan Kader Terbaik
"Ini tak masuk akal. Kalau pun Ketua KPU RI dinilai melanggar etik, pelanggaran itu pun ringan. Sebab, hal ini tak berkait dengan kepemiluan secara langsung," tegasnya.
Pihaknya berharap DKPP bertindak hati-hati dalam menyampaikan keputusan. Tak sekadar membuat keputusan yang dianggap populis untuk menarik perhatian.
"Ini yang harus diperjelas sehingga tak ada perspektif negatif dari masyarakat. Seperti halnya conflict of interest, abuse of power, atau melampaui kewenangan, hingga cari perhatian," tegasnya.
Seharusnya, DKPP fokus pada masalah kepemiluan.
"Kami berharap DKPP jangan dijadikan ajang meningkatkan popularitas oknum lah, terlebih mungkin ada konflik kepentingan yang terjadi. Sehingga mencoreng nama baik demokrasi Indonesia yang telah mulai tertata dengan baik hari ini," tegasnya.
Baca juga: PSI Menilai Angka Presidential Threshold Seharusnya Diturunkan: Semestinya Ada Rasionalitas
Untuk diketahui, DKPP memutuskan untuk memberhentikan Arief Budiman dari jabatannya sebagai Ketua KPU.
Arief diduga melanggar etik karena menemani Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) yang kala itu diberhentikan oleh DKPP.
Selain itu, Arief telah membuat keputusan yang diduga melampaui kewenangannya yakni menerbitkan Surat KPU RI Nomor 665/SDM.13.SD/05/KPU/VIII/2020 tanggal 18 Agustus 2020. Surat itu berkaitan dengan pengaktifan kembali Evi sebagai komisioner.
Baca juga: Ini Aturan Gubernur Khofifah Selama Penerapan PPKM di 11 Daerah di Jawa Timur
Sebelumnya, terjadi polemik di antara para penyelenggara Pemilu. DKPP sempat memutus pemecatan Evi dari jabatan Komisioner KPU RI karena diduga melanggar kode etik ihwal suara di Pileg 2019.
Putusan DKPP itu pun dijalankan Presiden RI dengan menerbitkan surat pemecatan. Namun surat itu lantas dibatalkan PTUN Jakarta seusai mendapatkan gugatan dari Evi.
Pembatalan tersebut pada 23 Juli 2020. Evi pun kembali menjadi komisioner pada Agustus 2020.
Editor: Dwi Prastika