Gus Baha : Kemapanan Sering Membuat Orang Komplain
Gus Baha sejak kecil sudah mendapat ilmu dan hafalan Alqran dari ayahnya, KH. Nursalim Al-Hafidz. Maka tidak heran apabila Gus Baha menjadi ahli tafsi
Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
Penulis Yoni Iskandar | Editor : Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Gus Baha sejak kecil sudah mendapat ilmu dan hafalan Alqran dari ayahnya, KH. Nursalim Al-Hafidz. Maka tidak heran apabila Gus Baha menjadi ahli tafsir Alquran. Sehingga sangat diidolakan anak-anak muda atau yang biasa disebut kaum milenial.
Metode ceramah Gus Baha yang menggunakan bahasa-bahasa sederhana dan menyejukkan hati dan murah senyum itu dikagumi semua kalangan.
Kita ketahui, Pengajian KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha sudah banyak tersebar di sosial media Whatsapp, Facebook, Twitter, Youtube, Google, dan radio.
Bahkan di YouTube saat ini banyak ditemukan video pengajian dari para ulama, termasuk materi pengajian dari KH Ahmad Baha’uddin Nursalim, atau yang lebih akrab disapa Gus Baha.
Gus Baha yang kini mejadi Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjelaskan berkahnya menjadi orang pemalas dan orang yang rajin.
Hal itu disampaikan KH Ahmad Baha'udin Nur Salim lewat Tabligh Akbar yang diselenggarakan oleh Telkom University Bandung.
"Ketika kita ngaji tauhid, ngaji ciptaannya Allah. Kita mengetahui bahwa Allah menciptakan sesuatu itu pasti ada hikmahnya. Allah menciptakan manusia sebagai pemalas, itu juga bagus," terang Gus Baha.
KH Baha'udin Nur Salim atau akrab disapa Gus Baha menjelaskan, bahwa orang pemalas ini bagus. Akan tetapi, jika dalam bab ibadah pemalas ini menjadi hal yang buruk. Karena mereka akan lalai terhadap kewajiban dalam beribadah.
Baca juga: Gus Baha Ziarah Wali di Jawa Timur Bersama Keluarga, Berkahnya Malas
Baca juga: Terbongkarnya Kewalian Gus Baha
Baca juga: Inilah 8 Nasehat KH Maimoen Zubair
"Tapi andaikata Anda ditakdirkan mempunyai kemampuan ahli nuklir, kemudian Anda tidak pemalas, setiap hari bikin nuklir. Dan nuklirnya dahsyat-dahsyat, pasti berbahaya," terang KH Ahmad Baha'udin Nur Salim.
Gus Baha menambahkan, pertama mungkin hanya bisa menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Akan tetapi, suatu saat bisa menghancurkan Asia. Akhirnya, bikin yang menghancurkan seluruh dunia.
"Barokahnya pemalas, ngantor baca koran, ngantor ngerumpi. Sehingga yang bagian menangani nuklir ini tidak pintar-pintar banget. Bahaya kalau pintar banget, efeknya luar biasa," jelas Pengasuh Pesantren Tahfidzul Quran LP3IA Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah ini.
Gus Baha juga menerangkan kepada penanya dalam acara tersebut, terkait dengan pertanyaan mengenai ilmu itu membingungkan.
"Agama itu mengatur, mengatur yang halal ya biar halal. Yang baik ya biar baik," jelasnya.
Ia memberikan contoh, bahwa ada orang ke Mars atau ke Bulan. Ini pintar dalam konteks menjelajah alam. Tapi apabila ini dilakukan ketika rakyat mereka dalam kondisi kelaparan, dan menghabiskan biaya untuk pergi ke Bulan.
“Itu namanya bodoh apa pintar,” papar Gus Baha selaku Pengasuh dan sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah ini.
"Membiarkan masyarakat kelaparan, tapi menggunakan anggaran untuk naik ke Bulan. Mereka bertujuan untuk mengetahui Bulan. Ini termasuk hal bodoh atau tidak? Saya juga bingung," kata Gus Baha sambil berkelakar.
Barokah Rajin atau Kerja Keras
“Malas itu masuk daftar hitamnya nabi. Makanya sampai di-isti’adzahi. Mohon perlindungan agar dijaga dari sifat malas. Allahumma inni ‘audzubika minal ‘ajzi wal kasal. Aku berlindung kepada Allah dari sifat lemah dan malas,” kata Gus Baha.
Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Narukan, Kragan, Rembang ini, memberikan resep rahasia sukses dalam bisnis apa pun.
“Coro wong kuno esuk-esuk lungo nang pasar, selak rejekine dipangan pitik (Kata orang kuno dulu, pagi-pagi cepat pergi ke pasar, nanti rejekinya kedahuluan dimakan ayam),” kata Kiai yang videonya viral ini.
Ulama yang menggemari baju putih di setiap ceramahnya ini memaksudkan pengibaratannya itu seperti ini: Kalau kita malas menguasai pasar, maka pasar sudah kedahuluan dikuasai yang lain.
“Sekarang sudah kelihatan ratusan bahkan ribuan triliun dikuasai oleh pengusaha Tionghoa. Orang Islam jadi kaum buruh, kaum pengemis,” katanya.
Persis seperti yang dilakukan kepada pengusaha Tionghoa.
“Setelah ekonominya kalah. Ramai-ramai bilang revolusi antiChina. Tak perlu revolusi, kalau kita rajin, tidak malas, kita pasti bisa,” katanya.
Apa yang perlu dilakukan, imbuh Gus Baha? “Buang jauh sifat malas. Bikin sentra-sentra poduksi di kampung-kampung. Dulu kita bikin minyak kelapa sendiri. Bikin sentra kopra sendiri. Lah, sekarang kita kok malas marut kelapa. Akibatnya, ya kita tergantung dengan industri minyak yang dikuasai pengusaha Tionghoa. Begitu juga tepungnnya. Dulu, ketika kita mau bikin tepung, ndeplok (menumbuk) sendiri dari beras. Lha sekarang malas, ya tepungnya dikuasai pengusaha Tionghoa. Mau bikin pisang goreng atau jajanan apa pun, tepungnya beli,” papar Gus Baha mengingatkan penyakit malas ini.
"Dulu di zaman nabi meskipun banyak yang miskin tapi punya mental heroik dan patriotik," jelas Gus Baha.
Tidak hanya itu, mereka juga memiliki karakter dermawan, tidak kikir. Sehingga setiap ada perang, mereka pasti ikut menyumbangkan sesuatu yang berharga, misalnya bahan makanan pokok, senjata, dan sebagainya, meski mereka lagi-lagi dari kalangan miskin. Mental umat inilah yang disebut Gus Baha sebagai mental heorik dan patriotik.
Dan mental semacam ini menurutnya penting dimiliki oleh generasi bangsa saat ini. Gus Baha menjelaskan, ada hal positif di balik mental tersebut.
Seseorang yang karakternya selalu ingin memberi, bukan meminta, akan jauh dari sifat tamak. Dan sifat tamak tercermin dalam Al-Qur’an sebagai sifat tercela.
"Makanya di Al-Qur’an orang yang kikir itu tidak dikritik, yang dikritik orang yang tamak," tuturnya.
Begitu juga saat sebelum Indonesia merdeka. Sejumlah ulama, kiai, santri, dan kalangan lainnya ikut terlibat langsung dalam peperangan dengan penjajah. Hal penting yang bisa diambil dalam peristiwa tersebut di antaranya adalah loyalitas tinggi yang melekat dalam diri bangsa Indonesia. Mereka mempunyai kecintaan terhadap tanah airnya melebihi apapun.
Kondisi negara pada saat itu belum merdeka. Artinya, dalam melawan penjajah, warga negara memiliki ghirah (semangat) perjuangan dan jiwa patriotik yang luar biasa. Dengan menggunakan senjata seadanya, mereka tidak takut menghadapi penjajah yang tentu sudah bersenjata lengkap.
"Sebelum Indonesia merdeka, ulama punya cara sendiri untuk mengatasi itu. Ulama punya loyalis, punya ghirah, strategi, sehingga Belanda punya kesulitan menghadapi para ulama. Belum ada negara, belum ditopang negara bisa melakukan perlawanan," tegasnya.
Gus Baha juga menyerukan agar bangsa Indonesia meniru mental umat Nabi Muhammad terdahulu yang mempunyai karakter dermawan atau sikap ingin selalu memberi. Bukan sebaliknya. Hal ini penting untuk menghadapi masa-masa krisis negara. Mental sebuah bangsa sangat mempengaruhi cara sekaligus konsekuensi menghadapi dinamika zaman.
"Andaikan kita semua ingin memberi sumbangan kepada negara, maka kita tidak akan memvonis pemerintahan kita tidak becus, meskipun pemerintah berkewajiban membantu rakyat miskin," ungkapnya.
Hal itu sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW yang dalam salah satu hadistnya diterangkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.
"Berkahnya patriotik, ingin selalu memberi, semua orang kaya dan miskin akan urun menyumbang negara. Akhirnya (dalam sejarah) terbukti bahwa negara kita merdeka sebelum terbentuk TNI dan Polri," pungkasnya.
Kemapanan Sering Komplain
Menurut Gus Baha, mungkin iman orang yang mencari kerja atau mahasiswa di beberapa negara tersebut biasa saja, tapi mereka bisa membangun komunitas masjid.
Sementara, jika mereka tinggal di kampung halamannya mungkin hanya menjadi orang-orang yang sering komplain.
“Jadi kalau di daerah yang Islamnya sudah sehat agak-agak komplain, krannya buntu saja sudah geger. Tapi ketika dia di daerah yang tidak ada masjid, berikhtiar untuk bikin masjid,” ujar Gus Baha.
Gus Baha menambahkan, sekarang juga banyak problem di beberapa negara. Menurut Gus Baha, hal itu karena semua rakyatnya ingin mendapatkan sesuatu dari negaranya, bukan berusaha memberikan sesuatu kepada negaranya.
“Kalau semua orang yang pintar, yang bodoh, setengah pintar, hubungannya dengan negara ingin mendapat, maka negara bisa keteteran. Tapi kalau hubungannya ingin memberi, insya Allah semuanya akan selamat,” kata Gus Baha.
“Intinya agama ini menitikberatkan supaya hubungan kita dengan orang lain atau dengan negara itu kalau bisa hubungamnya itu ingin memberi, bukan ingin mendapatkan,” imbuh Rais Syuriah PBNU ini.