Berita Tulungagung
Industri Alat Dapur di Tulungagung Masih Terdampak Pandemi Covid-19, Ada yang Mulai Bangkit
Industri alat dapur di Desa Kaliwungu Tulungagung masih terdampak pandemi Covid-19 atau virus Corona, ada yang sudah mulai bangkit.
Penulis: David Yohanes | Editor: Dwi Prastika
Reporter: David Yohanes | Editor: Dwi Prastika
TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Usaha pembuatan peralatan dapur di Desa Kaliwungu, Kecamatan Ngunut, Tulungagung, kembali menggeliat.
Setelah satu tahun lamanya mereka tiarap karena pandemi Covid-19 (virus Corona), kini produksi mereka kembali bangkit.
Salah satu yang merasakan pemulihan ekonomi itu adalah Wiwit Sugiarto (50), pembuat aneka alat dapur dan modifikasi panci.
Wiwit mengungkapkan, saat pandemi virus Corona, usahanya nyaris menyusut hingga 50 persen.
Sementara stok barang masih banyak dan tidak terserap pasar.
“Kemarin selama 2020 benar-benar tiarap. Penyusutannya lebih dari 50 persen,” ujar Wiwit, saat ditemui di rumahnya, Senin (26/4/2021).
Selama 2020 Wiwit hanya melayani pesanan, tidak berani menyetok produk.
Baca juga: Polisi Ciduk Bapak-bapak Asal Blitar Bobol Percetakan Tulungagung, Gondol Barang Senilai Rp 30 Juta
Baca juga: Ada Dua Warga Ngunut Tulungagung di KRI Nanggala 402, Orang Tua Minta Didoakan di Tiap Masjid
Padahal dalam kondisi normal, selalu ada stok barang untuk mengantisipasi jika ada permintaan dalam jumlah besar.
Pekerjanya yang berjumlah 10 orang digilir menjadi 5 orang per hari.
“Jadi mereka dijadwal, seminggu bekerja seminggu kemudian diliburkan, ganti lima orang lainnya,” ungkap Wiwit.
Kondisi ini memberatkan Wiwit, apalagi dirinya juga masih dibebani utang di bank.
Namun di awal 2021 kondisi mulai membaik.
Bahkan sejak tiga bulan lalu para pekerjanya sudah kembali bekerja seperti semula.
Baca juga: Orang Tua Faqihudin Munir Awak KRI Nanggala 402: Dia Kalau Telepon Pasti Minta Didoakan Selamat
Baca juga: Sebut Tak Ada Koordinasi, Polres Ponorogo Akan Bubarkan Pertunjukan Reog Saat Sahur
Bukan itu saja, kini Wiwit menambah lima pekerja lagi untuk membantu proses produksi.
Produk yang dihasilkan tidak bisa distok, karena langsung diambil oleh para pedagang besar.
Wiwit hanya fokus produksi barang, sementara pemasaran sepenuhnya dipegang para pedagang itu.
“Saya tidak pernah menjual langsung lewat online atau apa, lebih memilih lewat para pedagang itu. Karena ini bagi-bagi rezeki, lebih banyak yang mendapat keuntungan,” tuturnya.
Saat ini kapasitas produksi Wiwit rata-rata 9.000 lusin per bulan.
Produk terbanyak adalah ceplok buah atau pengerok kelapa muda.
Hasil produksi rumahan Wiwit dijual hingga ke Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan.
“Jadi ada pedagangnya sendiri-sendiri. Misalnya yang ke Sumatera, lewatnya pedagang dari Jawa Tengah,” tutur Wiwit.
Baca juga: Awak KRI Nanggala 402 Sempat Belikan Mukena dan Gelang untuk Ibu, Sebut Akan Bawa Banyak Uang: Sabar
Baca juga: Baru Pulang dari Singapura, Pekerja Migran Asal Kota Blitar Dikarantina 5 Hari di Rumah Isolasi
Wiwit merinci, dalam satu hari bisa memproduksi 100 lusin per produk.
Sementara setiap hari ada 3 produk, sehingga total ada 300 lusin.
Sehingga dalam satu bulan ada 9000 lusin produk, di luar modifikasi panci.
Wiwit mematok harga jual Rp 13.000 per lusin, sehingga nilai produksinya sebesar Rp 117 juta.
“Jumlah itu tentu nilai kotornya. Karena masih dipotong ongkos pekerja, beli bahan dan lain-lain,” katanya.
Desa Kaliwungu, Kecamatan Ngunut menjadi sentra industri rumahan aneka alat dapur.
Usaha ini sudah dimulai turun temurun dari generasi sebelumnya.
Para pengusaha ini mengandalkan alat pond, baik manual maupun digerakkan listrik.
Namun hal berbeda dialami Bambang Dwijono, pembuat spatula dan anake perabot lain.
Menurutnya, selama pandemi 2020 usahanya masih berjalan meski ada pengurangan produksi.
Kondisi terus menurun hingga berhenti total.
“Puncaknya menjelang puasa kemarin, saya berhenti total karena sudah tidak ada pesanan,” terang Bambang.
Menurut Bambang, secara umum industri logam seperti usaha pembuatan alat dapur miliknya mengalami pukulan.
Padahal dalam kondisi normal, saat menjelang puasa adalah saat menggenjot produksi.
Sebab menjelang Lebaran biasanya permintaan naik tajam.
“Sebelum puasa sudah banyak pesanan yang masuk. Tapi sekarang sangat sepi,” keluh Bambang.