Pengembaraan Imajinasi 'The Wanderlust', Teknik Plototan Jadi Ciri Khas Karya dari Galih Reza Suseno
Melalui karya-karya Galih Suseno dalam The Wanderlust, emosi dan perasaan kita terbawa dalam ruang perjalanan di belantara panjang sarat imajinasi.
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Ficca Ayu Saraswaty
TRIBUNJATIM.COM - Pameran tunggal ketiga Galih Reza Suseno "The Wanderlust" merupakan proses kontemplasi panjang. Dalam proses ini, Galih mencari ke dalam dari dirinya sendiri, untuk kemudian melihat seperti apa dunia luar itu. Bagi Galih, The Wanderlust mewakili rasa penasarannya terhadap alam semesta.
“The Wanderlust adalah sebuah pengembaraan dan upaya mengingat kembali persentuhan saya dengan alam, meski di masa pandemi dalam mempersiapkan pameran ini saya lebih sering berkarya di studio karena takut kemana-mana. Tapi pikiran saya kemana mana. Saya jadi banyak membaca, menonton film, dan mendengarkan orang ngomong,” ujar alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu pada TribunJatim.com (23/12/2021).
"Bagi saya, benar, tidak ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan. Apa yang ada dalam alam mimpi saya memang terwujud dalam karya saya yang surreal, namun itu disebabkan oleh stimulus dari ingatan akan film-film yang saya gemari. Bagi saya, meski mengejutkan, pandemi bukanlah tiba-tiba. Ia ada meski tak kasat mata pasti karena sesuatu terlebih dahulu ada," imbuhnya.
Baca juga: Ahmad Fuadi Merasa Beruntung 4 Tahun Nyantri di Gontor: Ruh Keikhlasan dan Pondok Ibarat Ibu Kandung
Representasi Ruang Kebaikan di Tengah Pandemi

Melalui karya-karya Galih Reza Suseno dalam The Wanderlust, emosi dan perasaan kita terbawa dalam ruang perjalanan di belantara panjang sarat imajinasi. Segala peristiwa yang menginspirasi Galih, telah diolahnya sedemikian rupa sehingga menjadi karya-karya yang atraktif dan menarik.
Pameran ini juga menjadi kali pertama Galih memamerkan karya tiga dimensi menggunakan material-material seperti resin dan epoclay. Instalasi pertamanya ini memakai warna-warna yang cerah dan ceria.
Kemuakan akibat krisis yang melanda dunia sejak awal 2020 menjadi pemantik seniman kontemporer asal Yogyakarta, Galih mentranslasikan dalam karya-karya terbarunya yang dipamerkan di pameran tunggal bertajuk The Wanderlust.
The Wanderlust dimulai dengan keyakinan kecil dalam perjalanan tidak pasti. Referensi dari The Wanderlust adalah pandemi Covid-19 yang mengejutkan umat manusia serta memberikan dampak bagi segala aspek kehidupan.
Bertempat di Galeri Kohesi Initiatives, Tirtodipuran Link, Galih memamerkan puluhan karya terbarunya, 15 Februari - 28 Maret 2021. Dalam rangkaian karya-karya terbarunya, tampilan visual karya Galih memiliki bentuk-bentuk tekstur yang menyerupai organisme hidup.
The Wanderlust menunjukkan bagaimana perasaan Galih saat bekerja di era pandemi yang diliputi ketidakpastian dan kerapuhan. Galih menceritakan bahwa pameran yang seharusnya direncanakan berlangsung pada tahun 2020 harus ditunda akibat pandemi. Meski begitu, pandemi tidak menghalangi niat Galih untuk mengadakan pameran di tahun 2021 dengan prokes ketat.
The Wanderlust menjadi representasi ruang kebaikan di tengah pandemi. Kondisi pandemi memberikan ruang kebaikan bagi Galih untuk kembali produktif dengan memunculkan ide baru. Kebaikan ini mendorong Galih untuk merealisasikan keyakinan kecilnya melalui karya yang diciptakan untuk pameran tunggal ketiganya The Wanderlust, yang merupakan masa yang tidak pasti.
Baca juga: Doyan Gambar Sejak SD, Hari Prasetyo Ciptakan Ilustrasi Jokowi: ‘Shortcut’ Karya Cepat Dikenal Orang
Mikroorganisme Makhluk yang Artistik

Berbentuk semacam virus, karya yang diberi judul The Symptom merupakan representasi virus corona. Karya ini dibuat oleh Galih sebagai perwujudan keterserakan manusia dalam memahami fenomena pandemi Covid-19 yang tak terlihat, terselubung, dan samar.
Karya instalasi ini juga dibuat sebagai symptom, yakni gejala atau tanda harapan dalam masa pandemi ini supaya virus-virus kembali menemukan inang atau rumah yang sesungguhnya. The Symptom merupakan perkembangan karya-karya dua dimensinya dan menggunakan tonjolan-tonjolan tekstur. Beranjak dari teknik lukis, Galih kini memakai teknik plototan.
“Saya suka lukisan yang bertekstur, bukan tipikal penyuka lukisan yang tipis. Saya mencoba eksplorasi dari epoclay sampai resin yang ternyata lebih awet. Inspirasi plototan dari ibu, saya suka membantu ibu menghias kue pakai plastik segitiga atau plototan, lalu dari sana dikembangkan jadi ciri khas lukisan saya,” ungkap penerima penghargaan Top 5 Winner Basoeki Abdullah Art Awards tahun 2019.
Mikroorganisme bagi Galih merupakan makhluk yang artistik. Galih percaya kalau ada makhluk tak kasat mata yang kerap disebut jagat cilik.
“Pandemi membawa kesadaran akan hal-hal kecil. Jagat cilik ini ada meski kita tidak melihatnya. Keterbatasan mata membuat kita tidak bisa melihatnya, padahal hal itu exist. Makhluk-makhluk mikoorganisme yang kecil tapi saat dilihat pakai mikroskop itu indah, bermakna, dan artistik. Inilah yang membuat saya tertarik melukiskannya sebagai tema The Wanderlust,” paparnya.
Baca juga: Berkiblat ke Musik Kontemporer & Karya Original, Violinist Kezia Amelia Rilis Single Yang Kukenang
Tema Spiritualitas dalam Berkarya
Sebelum pameran The Wanderlust, Galih pernah mengadakan pameran tunggal keduanya berjudul Imago Dei di Bentara Budaya Yogyakarta pada tahun 2017. Lukisan-lukisan yang ditampilkannya mengusung tema spiritualitas dalam berkarya. Banyaknya peristiwa maupun kejadian tentang beragama membawanya pada sebuah pemikiran bahwa spiritualitas tetap penting bagi kehidupan.
“Tema spiritualitas lebih kentara di Imago Dei. Berawal dari tugas kuliah, saya ingin karya ini tidak hanya berakhir sebagai tugas. Saya pamerkan karena ada rasa tangung jawab atas anak-anak yang saya lahirkan. Sayang kalau hanya tugas saja. Akhirnya saya cari galeri dan dapat di Bentara Budaya. Intinya tema spiritualitas ini memasalahkan postulat Tuhan yang katanya dalam kitab suci diciptakan ‘serupa’ seperti manusia. Namun di dalam keserupaannya itu, manusia dengan Tuhan, manusia berbuat seperti ‘setan’ bukan seperti Tuhan. sehingga muncul keambiguitas dan hal itu saya tampilkan dalam Imago Dei,” tutur Galih.
Baca juga: Film Pendek Omah Njero: Tempat Paling Sakral, Sendang Kapit Pancuran, hingga Ruang Semayam Para Ego
Inspirasi dalam Keheningan, Karya Hasil Perenungan

Galih menceritakan kondisi seniman, pekerja seni, dan pelaku industri kreatif yang sempat lesu di awal masa pandemi. Segala upaya untuk membangkitkan geliat seni dan industri kreatif pun tak henti dilakukan, agar iklim kesenian tidak lesu dan jalanan yang lengang tidak mematikan kreativitas. Menurut Galih, pandemi tidak sampai mematikan kreativitas para seniman, justru masa ini merupakan waktu yang tepat untuk mengambil jeda.
“Di masa pandemi ini, seniman banyak yang megambil jeda dan sangat produktif. Momen ini bisa digunakan untuk berpikir ulang untuk melihat di dalam dirinya, banyak sekali inspirasi tercipta di dalam keheningan. Saat pandemi mulai surut, saya melihat ada banyak sekali pameran yang bagus, di mana karya yang dihasilkan timbul dari hasil perenungan dan lebih mindful,” terang seniman pencetus Imago Dei dan Artist in residence #10, Hope Beyond Absurdity.
Baca juga: Janji Teruskan Perjuangan Pakde, Mira Kirana ‘The Next Didi Kempot’ Ajak Anak Muda Cinta Budaya Jawa
Sedikit Berbeda Lebih Baik Daripada Sedikit Lebih Baik
Galih Suseno merupakan seniman pendatang baru yang tampil menonjol di antara ribuan pelukis lainnya. Baginya, sedikit berbeda lebih baik daripada sedikit lebih baik. Plototan menjadi ciri khasnya.
Rencana ke depannya, Galih akan selalu ikut acara-acara pemeran seni, kemudian berkomitmen dengan galeri dalam menentukan pameran. Galih memasang target akan kembali menggelar pameran tunggal keempatnya pada tahun 2023. Tak lupa, ia juga akan lebih menggalakkan untuk berbagi ilmu dengan orang lain.
“Kalau berbagi ilmu secara workshop melukis plototan pernah satu hingga dua kali kepada anak-anak. Berbagi apa yang sudah saya dapatkan itu penting, jadi nanti akan digalakkan lagi dalam prioritas saya,” tutupnya.
(TribunJatim.com/Ficca Ayu Saraswaty)