Tragedi Arema vs Persebaya
Cerita Para Saksi Tragedi Kanjuruhan, Kompolnas Beber 3 Temuan: Sosok Pemberi Instruksi Gas Air Mata
Inilah cerita para saksi hidup tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang, Sabtu malam (1/10/2022).
Penulis: Ignatia | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM - Para saksi hidup Tragedi Kanjuruhan Malang, Jawa Timur akhirnya membongkar cerita.
Pengakuan para saksi hidup ini tentu menjadi penting mengingat detik-detik mencekam jelang kematian 131 orang terjadi.
Laga sepakbola Arema FC vs Persebaya Surabaya Sabtu (1/10/2022) menjadi laga terburuk sepanjang sejarah sepakbola Indonesia.
Bahkan, masuk ke dalam urutan kedua laga terburuk sepanjang sejarah dunia.
Dikutip dari Kompas.com, hingga hari ini resmi jumlah korban meninggal dunia sebanyak 131 jiwa.
Baca juga: Duka Mendalam, Anggota Tim Persebaya Larut dalam Doa Bersama Tragedi Kanjuruhan: Semoga Tak Terulang
Angka yang sangat luar biasa untuk nyawa membayar sebuah laga sepakbola di Indonesia.
Kini, publik tengah menyoroti apa yang sebenarnya terjadi dengan kerusuhan seusai laga Arema FC vs Persebaya dilakukan.
Korban bergelimpangan jatuh karena gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan.
Sementara hingga saat ini para korban lain dalam tragedi Stadion Kanjuruhan ada yang masih menjalani perawatan di beberapa rumah sakit di Malang.
Beginilah cerita mereka para saksi hidup tragedi Stadion Kanjuruhan.
Fathir Muhammad (21) pergi menonton laga Arema FC vs Persebaya Surabaya bersama sepupunya Mita Maulidya (24).
Saat itu, Fathir, Mita, dan sejumlahnya duduk di tribune 13 Stadion Kanjuruhan.
Lalu mendadak gas air mata ditembakkan ke arah tribune 13. Tembakan itu langsung membuat semua penonton berlarian. Termasuk dirinya dan Mita.
"Karena suasana panik, saya dan Mita terpisah. Saya tidak tahu keberadaannya," cerita Fathir.
"Asap membuat mata pedih dan napas terasa sesak."
Fathir sendiri selamat dalam tragedi mematikan itu. Sebab dia berlari menuju pagar tribune.
Dia berhasil keluar dari tribune 13 dengan cara memanjat pagar tribun dan turun shuttle ban (lintasan lari) pinggir lapangan.
Setelah itu, dia berhasil keluar dari stadion.

Namun hal itu tidak terjadi pada sepupunya, Mita.
Fathir diberitahu bahwa sepupunya telah meninggal dunia dan jenazahnya ada tribune VIP.
"Saya menuju ke sana. Jenazah adik saya langsung dibawa pulang ke rumah duka dengan ambulans," kenangnya.
Terpisah, Rifqi Aziz Azhari juga merupakan salah seorang suporter Aremania yang hadir di stadion.
Saat kejadian, dia berada tribune VIP.
Meski lokasinya jauh dari tribune 13, namun efek dari gas air mata hampir terasa di dalam seluruh stadion.

"Polisi menembak ke tribune 13 dan 14, namun terbawa sampa VIP," ungkap Rifqi.
Alhasil orang-orang berlarian. Namun beberapa ada yang kejang-kejang. Mukanya sampai biru.
"Yang saya lihat lima korban, satu polisi, sudah meninggal," tuturnya.
Beda lagi dengan Evi Elmiati. Dia harus kehilangan suami dan anaknya dalam tragedi Kanjuruhan ini.
"Suami dan anak saya meninggal. Anak saya baru berusia 3,5 tahun," ucap Evi.
Baca juga: Kisah Kengerian di Pintu 13 Kanjuruhan Disorot, Bak Kuburan Massal, ini Alasan Ditutup Versi PSSI
Kepada kompas TV, Evi bercerita bahwa dia terpisah dengan suami dan anaknya saat orang-orang berlarian.
Kata Evi ada seorang perempuan yang memeluknya dan mengajaknya ke tribun atas.
Sementara suami dan anaknya pergi ke pintu 13, pintu yang menyebabkan banyak korban terinjak-injak.
Baik Evi dan Rifqi melihat bagaimana orang-orang terinjak-injak. Ini karena mereka saling dorong untuk menyelamatkan nyawa.
"Yang paling parah itu yang ada di tribune 13 dan 14."
"Ini karena polisi yang menembakkan itu posisinya ada di tribune 14.
"Kenapa yang ditembak yang di tribune? Padahal di sana ada anak-anak, perempuan juga," ungkap Rifqi.

Persoalan menembakkan gas air mata di tribune kini tengah menjadi sorotan dunia.
Beberapa temuan baru setelah penyelenggaraan pemeriksaan terhadap kasus Tragedi Kanjuruhan mulai muncul.
Empat hari sejak peristiwa yang terjadi pada Sabtu (1/10/2022) lalu, sejumlah temuan dari investigasi telah mencuat di hadapan publik.
Mulai dari faktor kelalaian panitia pelaksana hingga prosedur penembakan gas air mata.
Berikut Tribun Jatim rangkum dikutip dari Kompas.com.
1. Instruksi di luar prosedur
Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas), menyebutkan bahwa Kapolres Malang selaku penanggung jawab pengamanan tidak menginstruksikan penembakan gas air mata.
Komisioner Kompolnas Albertus Wahyurudhanto mendapatkan bukti rekaman apel sebelum pertandingan.
"Kami mendapatkan bukti rekaman pelaksanaan apel 6 jam sebelum pertandingan.
Dalam apel tersebut, Kapolres Malang meminta seluruh jajaran pengamanan tidak menembakkan gas air mata dalam situasi dan kondisi apa pun," kata dia, Selasa (4/10/2022).
Mengutip Antara, Kompolnas menjelaskan, ketika kerusuhan terjadi Kapolres Malang berada di luar stadion untuk menyiapkan pengamanan bagi Persebaya.
"Saat itu Kapolres Malang sedang di luar akan mengamankan pemain (Persebaya) yang akan keluar," katanya.
Lantas siapa yang menginstruksikan penembakan gas air mata di dalam stadion?

Menurut asesmen yang dilakukan Kompolnas selama dua hari, ada oknum jajaran keamanan yang mengeluarkan instruksi penembakan gas air mata di luar prosedur.
Kompolnas menggambarkan kondisi pengamanan di saat tragedi terjadi.
Ada 2.000 personel yang diterjunkan.
Dari jumlah itu, anggota Polres Malang sejumlah 600 orang.
Sisanya merupakan personel bantuan dari jajaran TNI, Polres penyangga, dan Brimob Polda Jawa Timur.
"Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan, siapa dan pada tingkat mana instruksi gas air mata itu keluar," kata Albertus.
Baca juga: Malam Kelabu di Stadion Kanjuruhan: Kengerian di Pintu 13 dan 14 hingga Sakaratul Maut di Depan Mata
2. Komdis PSSI benarkan ada pintu yang tertutup
Komite Disiplin (Komdis) PSSI membenarkan adanya temuan sejumlah pintu-pintu yang tertutup, padahal seharusnya dibuka saat tragedi Kanjuruhan terjadi.
Kondisi ini membuat banyak korban jiwa berjatuhan.
"Pintu-pintu yang seharusnya terbuka tapi tertutup. Kekurangan ini menjadi perhatian dan penilaian kami adanya hal-hal yang kurang baik," kata Ketua Komdis PSSI Erwin Tobing di Kota Malang, Selasa (4/10/2022).
Panitia Pelaksana Abdul Haris tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik.
Salah satunya karena kegagalan mengantisipasi masuknya suporter ke lapangan.
"Padahal punya steward," kata dia.
Oleh karena itu, Komdis PSSI menjatuhkan sanksi pada Ketua Panitia Pelaksana Abdul Haris dan Steward atau Security Officer bernama Suko Sutrisno.
Mereka disanksi tidak boleh beraktivitas di dunia sepak bola selama seumur hidup.

3. Tendangan kungfu oknum aparat pada suporter
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat di lapangan, saat terjadinya tragedi Kanjuruhan.
Tindakan tersebut berupa tendangan kungfu aparat pada Aremania.
"Beberapa informasi yang memiliki kedekatan kepada satu fakta. Yang pertama, kekerasan memang terjadi dari video beredar, ditendang, kena kungfu di lapangan, semua orang bisa melihat itu," kata Komisioner Penyelidikan atau Pemantauan Komnas HAM Choirul Anam.
Choirul juga menemukan adanya indikasi penggunaan kewenangan berlebihan dari aparat keamanan.
