Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kapan Rebo Wekasan 2023? Tradisi yang Digelar Tiap Rabu Terakhir di Bulan Safar, ini Sejarahnya

Rebo Wekasan adalah tradisi yang digelar setiap Rabu terakhir di Bulan Safar dalam kalender hijriyah.

Kolase/Trihugger dan DOK TribunJatim.com
Rebo Wekasan adalah tradisi yang digelar setiap Rabu terakhir di Bulan Safar dalam kalender hijriyah. 

TRIBUNJATIM.COM - Pada kalender Hijriyah terdapat Bulan Safar.

Di Bulan Safar terkenal dengan adanya Rebo Wekasan atau Rabu pungkasan.

Adapun Rebo Wekasan adalah tradisi yang digelar setiap Rabu terakhir di Bulan Safar dalam kalender hijriyah.

Tahun ini, Rebo Wekasan jatuh pada Rabu 13 Septemper 2023 atau 28 Safar 1445 hijriyah.

Dilansir dari Kompas TV, tradisi Rebo Wekasan kerap dijumpai di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura.

Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi tahlilan atau zikir berjemaah, shalat sunah, dan berbagi makanan dalam bentuk selamatan.

Rebo Wekasan dipercaya sebagian umat Islam sebagai hari pertama Nabi Muhammad SAW jatuh sakit dan meninggal dunia.

Lantas bagaimana asal mula serta sejarah dari Rebo wekasan atau Rabu pungkasan ini?

Baca juga: Ini Bacaan Niat Mandi Rebo Wekasan, Tata Cara Mandi Wajib Tolak Bala sesuai Sunnah

Sejarah Rebo Wekasan

Dikutip dari Kompas.com, tradisi Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada masa Wali Songo.

Kala itu, banyak ulama yang menyebutkan pada Bulan Safar, Allah SWT menurunkan lebih dari 500 macam penyakit.

Sebagai antisipasi datangnya penyakit dan agar terhindar dari musibah, para ulama pun melakukan tirakatan dengan banyak beribadah dan berdoa.

Kegiatan tersebut bertujuan agar Allah menjauhkan mereka dari segala penyakit dan malapetaka yang dipercaya turun pada Rabu terakhir di Bulan Safar.

Hingga kini, tradisi tersebut masih dilestarikan oleh sebagian umat Islam di Indonesia dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan.

Kendati demikian, ada pula pendapat lain yang menyatakan tradisi Rebo Wekasan baru muncul pada awal abad ke-17 di Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.

Salah satu daerah yang menyelenggarakan tradisi Rebo Wekasan adalah Yogyakarta, tepatnya di Wonokromo, Bantul.

Tradisi dilakukan dengan membuat lemper raksasa dan dibagikan kepada masyarakat yang menghadiri acara ini.

Baca juga: Apa Itu Arti Kata Rabu Wekasan atau Rebo Wekasan? Simak Penjelasan dan Hukumnya Menurut Islam

Ilustrasi Rebo Wekasan tradisi turun-menurun masyarakat Jawa yang terjadi di hari terakhir Bulan Safar.
Ilustrasi Rebo Wekasan tradisi turun-menurun masyarakat Jawa yang terjadi di hari terakhir Bulan Safar. (Kolase/Trihugger dan DOK TribunJatim.com)

Dilansir dari laman Kemendikbud, sejarah hadirnya tradisi ini tersedia dalam beberapa versi.

Versi pertama, Rebo Wekasan disebut sudah ada sejak 1784.

Saat itu, hidup tokoh bernama Mbah Faqih Usman atau yang dikenal sebagai Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit.

Masyarakat meyakini Kyai mampu mengobati penyakit dengan metode membacakan ayat Al Quran pada segelas air dan diminumkan kepada pasien.

Kemampuan Mbah Kyai Faqih semakin menyebar, hingga terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I (HB I).

Untuk membuktikan kemampuan tersebut, Sri Sultan HB I mengutus empat prajurit untuk membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke keraton.

Ternyata, ilmu Mbah Kyai terbukti dan mendapat sanjungan.

Sepeninggal Mbah Kyai Faqih, masyarakat pun meyakini mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.

Baca juga: Berikut Bacaan Doa Tolak Bala Rebo Wekasan di Bulan Safar, Lengkap Arab, Latin dan Terjemahan

Versi kedua, upacara Rebo Wekasan tak lepas dari Sultan Agung, penguasa Mataram yang dulu pernah memiliki keraton di Pleret.

Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar 1600.

Kala itu, Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit.

Kemudian, diadakanlah ritual untuk menolak bala pagebluk.

Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kyai Welit, dengan membuat tolak bala berwujud rajah bertuliskan basmalah dalam aksara arab sebanyak 124 baris.

Rajah tersebut dibungkus dengan kain mori putih dan dimasukkan ke dalam air, kemudian diminumkan pada orang yang sakit.

Lantaran khawatir air tak cukup, akhirnya Sultan Agung memerintahkan agar air dengan rajah sisa rajah tersebut dituangkan ke dalam Kali Opak dan Gajahwong.

Versi ketiga, dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, Bulan Safar dianggap sebagai bulan malapetaka atau bahaya.

Untuk itu, masyarakat zaman dahulu berusaha menolaknya dengan meminta bantuan kepada orang atau Kyai yang dianggap lebih mumpuni.

Kyai Welit, saat itu, diminta membuat tolak bala berbentuk rajah yang dimasukkan ke dalam air untuk mandi agar terhindar dari bahaya.

Karena semakin banyak orang yang meminta, Kyai Welit pun menemukan cara baru, yakni dengan memasang rajah diKali Opak dan Kali Gajahwong.

Dengan begitu, masyarakat cukup mengambil air atau mandi di kali tanpa mendatangi Kyai Welit.

Berita jatim terkini lainnya

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

Sumber: Tribun Sumsel
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved