Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kegaduhan Politik di Sidoarjo Jadi Sorotan, ini Kata Pengamat Politik Umsida: Hambat Pembangunan

Kegaduhan politik yang sedang terjadi di Kabupaten Sidoarjo berpotensi menghambat proses pembangunan, melambatnya pelayanan publik

Penulis: M Taufik | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM/M TAUFIK
POLITIK DI SIDOARJO - Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Hasan Ubaidillah 

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, M Taufik

TRIBUNJATIM.COM, SIDOARJO – Kegaduhan politik yang sedang terjadi di Kabupaten Sidoarjo berpotensi menghambat proses pembangunan, melambatnya pelayanan publik, dan beberapa hal lain yang merugikan masyarakat.

Karena itu, Pengamat politik dan kebijakan publik dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Hasan Ubaidillah menyarankan agar persoalan itu segera diselesaikan.

Ubaid, panggilan Hasan Ubaidillah, menyebut bahwa pembentukan Koalisi Sidoarjo Maju oleh tujuh partai di Sidoarjo (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, Nasdem, PPP, PDIP) merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat posisi tawar dan pengaruh dalam pengambilan kebijakan daerah.

“Terbentuknya koalisi tersebut bisa dilihat sebagai respons atas ketidakpuasan terhadap kepemimpinan saat ini, dan menurut saya berpotensi membawa alternatif kebijakan,” kata Ubaid, Jumat (18/7/2025).

Baca juga: Penilaian Pengamat Soal Suhu Politik di Sidoarjo Makin Memanas: Cuma Manuver

Sementara terkait sikap PKB yang tidak bergabung dalam koalisi, disebutnya bahwa itu menunjukkan adanya fragmentasi politik dan perbedaan strategi politik, yang dalam batas-batas tertentu juga wajar dalam dinamika politik demokratis.

Yang jelas, dikatakannya bahwa pembentukan koalisi dan penolakan LPJ APBD 2024 bisa berdampak pada stabilitas pemerintahan daerah. “Kalau konflik politik terlalu tajam, ada risiko kebijakan menjadi terhambat, ujung-ujung nya  pada lambatnya pelayanan publik, yang rugi ya masyarakat lagi,” lanjutnya.

Lantas bagaimana seharusnya sikap kepala daerah? Ubaid menyebut, demi kepentingan publik disarankan agar Bupati Sidoarjo segera membuka jalur komunikasi yang intensif dengan seluruh fraksi DPRD, termasuk yang berada di dalam Koalisi Sidoarjo Maju dan PKB.

Kepala daerah, kata dia, harus berupaya membangun koalisi atau kerja sama yang lebih luas dan inklusif dengan berbagai fraksi DPRD. Jangan terjebak dalam koalisi eksklusif yang bisa memperlemah posisi politik kepala daerah dan memperbesar oposisi.

Ubaid menilai, penolakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) APBD Sidoarjo 2024 oleh DPRD dalam rapat paripurna bukan sekadar peristiwa administratif. Ini adalah kejadian politik yang sarat makna dan berpotensi membawa dampak serius terhadap laju pembangunan di Kabupaten Sidoarjo.

LKPJ merupakan instrumen penting dalam siklus tata kelola pemerintahan daerah. Lewat laporan ini, kepala daerah mempertanggungjawabkan capaian program dan penggunaan anggaran kepada wakil rakyat.

“Ketika LKPJ ditolak, artinya terdapat ketidakpuasan mendalam terhadap kinerja pemerintah daerah, baik dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, maupun akuntabilitas anggaran,” tandasnya.

Baca juga: LPJ Penggunaan APBD Sidoarjo 2024 Ditolak, Inilah Sosok dan Kiprah Politik Bupati Subandi

Penolakan ini dapat dibaca dari dua sisi. Pertama, sebagai sinyal adanya disonansi antara eksekutif dan legislatif. Jika komunikasi dan sinergi antara keduanya tidak berjalan harmonis, maka program pembangunan yang seharusnya bersifat lintas sektoral dan jangka panjang bisa terganggu.

Kedua, penolakan ini bisa menjadi alarm bagi masyarakat bahwa proses pembangunan tidak berjalan sebagaimana mestinya, entah karena lemahnya kinerja, ketidaktepatan prioritas, atau buruknya tata kelola.

“Dampak paling nyata dari penolakan ini adalah terhambatnya proses perencanaan anggaran berikutnya. Dalam sistem pemerintahan daerah, pertanggungjawaban tahun anggaran berjalan menjadi referensi utama dalam menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) tahun berikutnya. Ketika LKPJ ditolak, proses itu menjadi pincang. Beberapa program bisa tertunda, terutama yang membutuhkan persetujuan politik, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan proyek strategis daerah,” urainya.

Kondisi ini juga bisa menurunkan kepercayaan investor. Ketidakstabilan hubungan antara eksekutif dan legislatif menjadi indikator risiko dalam dunia usaha. Dan dinilai bahwa penolakan Lpj ini dapat memicu ketidakpastian di kalangan aparatur sipil negara, karena bisa dianggap sebagai bentuk kegagalan manajerial.

Meski demikian, Ubaid menilai bahwa penolakan ini tidak selalu bermakna negatif. Ini bisa menjadi momentum koreksi. Jika dikelola dengan bijak, evaluasi terhadap LPJ tersebut dapat menghasilkan perbaikan kebijakan yang lebih responsif dan transparan.

Namun itu hanya bisa terjadi jika kedua pihak eksekutif dan legislatif menanggalkan ego politik dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. “Untuk itu, komunikasi politik yang sehat perlu segera dibangun kembali. Pemimpin daerah harus lebih terbuka terhadap masukan DPRD, sementara legislatif perlu objektif dalam menilai kinerja, tanpa terjebak pada tarik-menarik kepentingan politik praktis transaksional,” tegas Ubaid.

Penolakan LPJ APBD Sidoarjo 2024 adalah peringatan keras bahwa pembangunan di daerah ini tidak boleh berjalan seperti biasa. Ini bukan sekadar dokumen yang ditolak, tetapi potret bahwa ada sistem yang tidak berjalan optimal.

Bila tidak segera diperbaiki, maka bukan hanya program pembangunan yang akan mandek, tetapi juga kepercayaan publik yang akan luntur. “Dalam demokrasi, kritik adalah vitamin. Tapi seperti vitamin, jika dosisnya berlebihan dan tidak tepat sasaran, justru bisa jadi racun bagi pembangunan,” katanya

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved