Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kisah Warung Legendaris Dekat Kampus Unira Malang, Tetap Eksis Meski Banyak Pesaing

Keberadaan Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Malang mampu mendongkrak perekonomian di sekitarnya

|
Penulis: Luluul Isnainiyah | Editor: Ndaru Wijayanto
tribunjatim.com/Lu'lu'ul Isnainiyah
PEDAGANG MAKANAN: Penjual makanan di sekitar UNIRA Malang. Keberadaan UNIRA mampu mendongkrak perekonomian warga. 

Poin penting:

  • Unira Malang dorong pertumbuhan UMKM sekitar kampus
  • Pedagang makanan rasakan dampak positif
  • Pedagang makanan kini banyak persaingan
     

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Lu'lu'ul Isnainiyah

TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Keberadaan Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) Malang mampu mendongkrak perekonomian di sekitarnya. Di antaranya pedagang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) banyak berjualan di sekitar kampus.

Sebelum bertransformasi menjadi UNIRA, pada 1986 kampus ini berdiri dengan nama Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT). Kemudian berubah menjadi STAI Raden Rahmat pada 2010.

Kampus tersebut kini telah berkembang dengan nama UNIRA yang berlokasi di Jalan Mojosari, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang.

Berdekatan dengan UNIRA, juga berdiri SMK serta Pondok Pesantren NU Miftahul Huda. Selain itu berdiri fasilitas umum lainnya seperti hotel dan fasilitas olahraga.

Salah seorang pedagang yang merasakan dampak positif dari berdirinya lembaga pendidikan berbasis Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Nur. Ia merupakan penjual nasi pecel dan lodeh yang lokasinya hanya berjarak 20 meter dari UNIRA.

Nur mengaku sudah berjualan di tempat itu sejak 30 tahun silam, kurang lebih pada 1995. Dulunya, lokasi ini masih dikeliling oleh sawah.

"Dulu jualan sini masih sapi, sekelilingnya sawah. Saya termasuk penjual pertama di sini," kata Nur.

Menjadi pedagang satu-satunya di dekat kampus, ia cukup banyak meraskaan dampak positifnya. Termasuk tidak ada persaingan pedagang kala itu.

Ia bercerita, pada zaman dahulu di waktu wisuda, warung yang terbuat dari bangunan bambu selalu dipenuhi oleh wali murid untuk sekedar makan atau menanti anaknya.

"Dulu sehari itu bisa jual berpanci-panci rawon. Belum lagi pas udah ada pondok itu, di jam istirahat anak-anak langsung ke sini," jelasnya.

Seiring berjalannya waktu, Nur harus bersaing dengan pedagang baru lainnya. Saat ini saja, banyak penjual nasi di sekeliling Nur. Maka pembeli pun akan memilih warung sesuai dengan yang diinginkan.

"Kalau sekarang bawa nasi paling cuma 3 kilogram. dulu sih bisa sampai 9 kilogram," ujar wanita berusia 70 tahun ini.

Namun ia tidak menampik bahwa perubahan zaman itu pasti akan dilalui. Untuk mempertahankan warungnya itu, Nur dengan sengaja menjual makan dengan harga murah karena konsumennya adalah pelajar.

Misalnya, nasi pecel dengan lauk telur, tempe, dan kerupuk ia jual dengan harga Rp 9 ribu.

"Ya biar mereka (pelajar) bisa beli makanan di sini, meskipun murah dijamin mereka kenyang," tukasnya

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved