Tiap Hari Siswa SD Berjuang Seberangi Sungai Setinggi 30 Cm Demi Sekolah, Musim Hujan Bisa 3 Meter
Rasa cemas selalu menghantui para siswa SD saat menyeberangi sungai, terutama ketika musim hujan.
Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM - Siswa SMP Satu Atap (Satap) Benteng Sipi di Dusun Baja, Desa Benteng Pau, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), harus berjuang untuk ke sekolah.
Mereka setiap hari harus menyeberangi Sungai Wae Pekas berarus setinggi 30 sentimeter untuk mencapai sekolah yang berjarak 4 km di Kampung Nio, Desa Golo Wuas.
Perjuangan mereka menarik perhatian di tengah peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Tangis Pendeta Gereja Punya Utang Rp6 M Akan Disita Bank, Dibantu Gubernur
Bagi siswa SMP Satap Benteng Sipi, perjalanan menuju sekolah bukanlah hal mudah.
Para siswa seringkali basah kuyup karena seragam mereka terkena air sungai dan tak ada jembatan.
Kondisi ini semakin sulit saat musim hujan tiba, ketika ketinggian air bisa mencapai 3 meter.
Akibatnya, banyak siswa terpaksa tidak berangkat sekolah demi keselamatan.
Beberapa dari mereka nekat mengambil risiko menyeberang atau menunggu air surut, yang sering kali membuat mereka terlambat sekolah.
Salah satu siswa, Denis (15), berbagi kisahnya.
"Kalau musim hujan, kami sering tidak ke sekolah. Tapi kalau tidak sekolah, kami ketinggalan pelajaran dari guru," ujarnya dengan nada prihatin, Sabtu (9/8/2025).
Setiap pagi, Denis dan teman-temannya berjalan kaki menuju sungai.
Di tepi sungai, mereka mengganti seragam dengan pakaian biasa untuk menyeberang, lalu berganti kembali setelah sampai di seberang.
"Kami tak pakai sepatu dari rumah. Pakaian sekolah diganti setelah lewat sungai," tambahnya.
Rasa cemas selalu menghantui Denis saat menyeberangi sungai, terutama saat musim hujan.
"Kalau banjir besar, kami pilih tidak sekolah. Takut," katanya, melansir Kompas.com.
Ia berharap pemerintah segera membangun jembatan untuk memudahkan perjalanan mereka tanpa rasa khawatir.
Senada dengan Denis, warga Dusun Baja, Antonius Dion, menyoroti dampak ketiadaan jembatan.
"Saat musim hujan, anak-anak kadang tidak sekolah karena berbahaya," ungkapnya melalui sambungan telepon pada Senin (11/8/2025).
Kondisi ini juga memengaruhi perekonomian warga yang mayoritas petani, karena mereka kesulitan menuju kebun saat sungai meluap.
Selama puluhan tahun, warga setempat bergotong-royong membangun jembatan sederhana dari bambu setiap tahun untuk memudahkan anak-anak menuju sekolah.
"Ini sudah jadi nasib kami. Setiap tahun kami buat jembatan bambu agar anak-anak bisa sekolah," tutur Antonius.
Sungai Wae Pekas menjadi pembatas antara Desa Benteng Pau dan Desa Golo Wuas.
Antonius berharap pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat segera membangun jembatan permanen.
"Kami ingin anak-anak kami sekolah dengan aman dan nyaman, seperti anak-anak lain di tempat lain," harapnya.
Perjuangan siswa Dusun Baja menjadi cerminan semangat pantang menyerah di tengah keterbatasan.
Pada usia kemerdekaan Indonesia yang ke-80, kisah mereka adalah pengingat bahwa akses pendidikan yang layak masih menjadi tantangan di pelosok negeri.
Baca juga: Siasat Komplotan Bobol ATM Kuras Saldo Korban Rp706 Juta Cuma Pakai Tusuk Gigi
Bahkan, tidak usah jauh-jauh di pelosok, di Pulau Jawa sendiri masih ditemukan sejumlah pelajar berjalan tanpa alas kaki hendak berangkat sekolah di jalanan yang penuh lumpur dan becek.
Tampak tangan anak-anak tersebut mencincing rok seragam agar tidak kotor terkena lumpur jalanan.
Sementara sepatu mereka dilepas dan digantung di leher.
Dalam video, anak-anak tersebut kemudian menyapa Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Anak-anak melapor bahwa mereka sudah mengikuti instruksi pergi ke sekolah dengan berjalan kaki.
Hanya saja, jalan yang mereka lalui dan merupakan akses satu-satunya untuk pergi ke sekolah tersebut kondisinya rusak dan berlumpur.
Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan sudah 15 tahun lamanya.
"Pak Dedi bukan kah ini negeri merdeka? Bantulah kami untuk mendapatkan indahnya kemerdekaan," ujar murid SD perempuan dalam video, melansir Tribun Jabar, Minggu (11/5/2025).
"Pak Dedi kami adalah rakyatmu, di saat pemimpin lain tidak mampu mendengar suara kami, kami masih punya Pak Dedi, bapak aing," imbuh dia.

Belakangan diketahui video tersebut sengaja dibuat agar pemerintah tahu soal kondisi para pelajar dan warga yang tinggal di Blok Empang Desa Eretan Wetan.
Selama ini, wilayah tempat tinggal mereka selalu luput dari perhatian, karena terisolir dan dikelilingi oleh empang.
Jalanan yang becek penuh lumpur itu pun menjadi satu-satunya akses mereka untuk beraktivitas sehari-hari dan pergi sekolah.
Kondisi tersebut merupakan pemandangan rutin yang dialami para pelajar yang tinggal di Blok Empang Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu.
Tidak hanya pelajar SD, pelajar tingkat SMP, dan SMA, bahkan warga lainnya yang tinggal di blok setempat juga harus melakukan hal yang sama.
Salah satu warga, Supriyanto (40) mengatakan, sudah berulang kali warga mengajukan perbaikan jalan ke pemerintah desa.
Bahkan, warga juga sudah mengadu ke Pemkab Indramayu.
Hanya saja, realisasi perbaikan jalan belum kunjung dilakukan hingga sekarang.
"Lokasinya memang terisolasi dan jauh dari pemukiman umum," ujar Supriyanyo kepada Tribun Cirebon, Minggu (11/5/2025).
"Cuma karena di situ ada masyarakat yang tinggal, maka akses jalan menjadi kebutuhan," imbuhnya.
"Di sana ada anak-anak yang perlu sekolah, bapak-bapak yang bekerja dan di situ tuh satu-satunya akses jalan," tambah dia.
Baca juga: 3 Anak Ketakutan Lihat Siput usai Dikurung Orang Tua di Rumah selama 4 Tahun, Dipaksa Pakai Masker
Supriyanto mengatakan, kondisi jalanan di video tersebut walau memprihatinkan, akan tetapi sebenarnya belum seberapa.
Kondisinya bisa parah lagi apabila wilayah setempat habis diguyur hujan lebat.
Jika itu terjadi, tidak jarang warga maupun anak-anak terjatuh dan terluka.
Sebagai antisipasi karena tak kunjung mendapat perhatian, warga pun hanya sanggup melakukan perbaikan seadanya dengan uang hasil patungan.
Lanjut Supriyanto, ada yang patungan Rp5 ribu, Rp10 ribu, Rp50 ribu, Rp100 ribu.
Uang tersebut lalu dikumpulkan.
Setelah banyak, kemudian digunakan untuk perbaikan jalan walau hanya perbaikan seadanya.
"Karena memang selama 15 tahun tidak ada perhatian sama sekali. Terakhir pengajuan itu kurang lebih sekitar dua tahun lalu," pungkasnya.
Dusun Baja
Desa Benteng Pau
Kecamatan Elar Selatan
Kabupaten Manggarai Timur
Sungai Wae Pekas
SMP Satap Benteng Sipi
Denis
TribunJatim.com
Tribun Jatim
Banpol Cair, PDI Perjuangan Kota Malang Dapat Rp 1,3 Miliar |
![]() |
---|
Candra Tewas Diduga Dibunuh Teman, Sosok Korban Diungkap Sekdes: Baru Menikah |
![]() |
---|
Pemkab Tulungagung Kebut Penyelesaian 63 Paket Pekerjaan Infrastruktur hingga Akhir 2025 |
![]() |
---|
Viral Surat Pernyataan Orang Tua Dilarang Menggugat Jika Anaknya Keracunan MBG, BGN Bereaksi |
![]() |
---|
UMKM Daun Agel, Perjuangan Faiqotul Himmah Merajut Harapan dari Madura |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.