Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Hotel Tak Terima Ditagih Royalti oleh LMKN Meski Pakai Suara Burung Asli: Jangan Main Tembak

Pihak manajemen menolak tuduhan yang menyebut hotel memutar musik di area publik tanpa lisensi.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
freepik.com
TETAP DITAGIH ROYALTI - Ilustrasi berita hotel di Tangsel tetap ditagih royalti oleh LMKN meski pakai suara burung asli, bagaimana hal ini terjadi? 

TRIBUNJATIM.COM - Hotel di Tangerang Selatan tak terima ditagih royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Pihak manajemen menolak tuduhan yang menyebut hotel tersebut memutar musik di area publik tanpa lisensi.

Mereka mengaku memakai suara burung asli alih-alih lagu atau musik. 

Baca juga: Pasang Bendera Merah Putih, Pria Tiba-tiba Dibacok Tetangga sampai Tewas

Hal itu disampaikan General Manager Pranaya Boutique Hotel, Bustamar Koto.

Ia meminta LMKN membuktikan klaim sebelum melayangkan surat resmi.

"Kalau menuduh, harus buktikan dulu," ujar Bustamar kepada Kompas.com, Jumat (15/8/2025).

"Jangan hanya main tembak. Harus jelas, lagu apa, musik apa, dan kapan itu diputar," tambahnya.

Bustamar menegaskan, sejak ia menjabat pada April 2022, pihaknya tidak pernah memutar musik di area publik hotel.

Seluruh perangkat pengeras suara bahkan telah dibuang demi menyesuaikan konsep natural deluxe.

Sebagai gantinya, hotel menghadirkan suara alami dari delapan burung peliharaan.

Seperti lovebird dan parkit Australia, serta suara gemericik air dan jangkrik.

Burung-burung tersebut ditempatkan di area restoran dan sudut-sudut hotel lain.

Menurut Bustamar, suara burung liar yang singgah juga sering terdengar oleh tamu, terutama pada sore hari.

"Biasanya kalau sore itu, burung-burung dari luar juga datang. Jadi seperti memancing kicauan," ucapnya.

Menurut dia, interpretasi Undang-Undang Hak Cipta yang tidak jelas berpotensi menjerat pelaku usaha yang sebenarnya tidak memanfaatkan musik secara komersial.

ROYALTI MUSIK - Ilustrasi musik klasik. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Wahana Musik Indonesia (WAMI) mengumumkan beberapa nama komposer yang termasuk dalam 50 besar penerima royalti pada distribusi periode Maret 2025, Selasa (25/3/2025).
Ilustrasi royalti yang ditarik Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) (Thinkstock)

"Kalau menuduh, harus ada buktinya. Jangan hanya berasumsi semua hotel atau restoran memutar musik," kata dia.

"Ini berbahaya, jadi harus ada interpretasi yang adil, yang benar, yang clear tentang apa yang disebut dengan penggunaan musik dan lagu di area publik," sambungnya.

Sementara itu, LMKN mengonfirmasi bahwa surat tertanggal 28 Juli 2025, memang dikirim kepada pihak hotel.

Namun, Pelaksana Harian LMKN, Tubagus Imamudin menilai, pihak hotel terlalu reaktif karena langsung menyampaikan bantahan ke publik alih-alih menggunakan hak jawab resmi.

"Seharusnya mereka minimal menghubungi kami bahwa tidak menggunakan musik. Harusnya selesai di situ," kata Tubagus.

Baca juga: Biaya Study Tour Siswa SMP ke Jogja Rp1,5 Juta Disebut Kemahalan, Tempat yang Dikunjungi Disorot

Sebelumnya, Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menegaskan rekaman suara apapun, baik musik maupun suara alam, tetap masuk ruang lingkup hak terkait jika berbentuk rekaman fonogram.

Artinya, meskipun suara tersebut bukan musik ciptaan, jika diputar dalam bentuk rekaman, tetap wajib membayar royalti sesuai Undang-undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

"Putar rekaman suara burung, suara apapun, produser yang merekam itu punya hak terhadap fonogram tersebut. Jadi tetap harus dibayar," tegas Dharma.

Dalam penjelasan ini, yang dimaksud dengan kewajiban royalti adalah ketika pelaku usaha memutar rekaman suara.

Jika suara berasal langsung dari alam atau hewan yang ada di tempat, maka tidak bisa dikenakan royalti.

Kasus ini mencerminkan perlunya kepastian hukum agar regulasi hak cipta berjalan seimbang, yakni melindungi hak pencipta dan produser, sekaligus memberi kepastian bagi pelaku usaha yang mengusung konsep berbeda, seperti menghadirkan suara alam secara langsung.

Tak hanya ke pelaku jasa, pemberlakuan pembayaran royalti lagu juga menyasar ke tranportasi umum.

Bus-bus yang melayani penumpang tidak luput dari pajak negara atas lagu.

Ketua DPD Organda Jatim, Firmansyah Mustafa, buka suara terkait hal ini.

"Kami adalah perusahaan berbasis layanan. Selama ini PO-PO memutar musik lewat YouTube atau Spotify itu bayar."

"Tapi kami sekarang khawatir kalau ada tagihan royalti," kata Firmansyah, Senin (18/8/2025).

Firmansyah yang juga salah satu manajemen PO Menggala termasuk yang khawatir jika PO-PO mendapat surat cinta bayar royalti.

Karena kecemasan ini, seluruh PO di Jatim hampir semua sudah mengeluarkan edaran larangan putar musik di dalam bus.

Per tanggal 16 Agustus 2025 kemarin, semua PO kompak bikin surat edaran kepada kru bus.

Baca juga: Di Tengah Duka Kehilangan Ayahnya, Komandan Paskibra Emban Tugas Kibarkan Bendera, Warga Terharu

Kru yang biasa membantu penumpang dilarang memutar lagu Indonesia melalui platform apapun.

Bahkan, manajemen PO sampai mengancam jika melanggar dan kemudian ada tagihan royalti, kru bus yang wajib membayar.

Situasi ini makin bikin tidak nyaman dalam berusaha di sektor jasa transportasi umum.

"Gerai mie di Bali karena putar lagu sejak 2022 dapat tagihan miliaran. Masak nanti bus-bus akan bernasib sama."

"Sementara para PO dan kru tidak ada sosialisasi soal royalti sama sekali," kata Firmansyah.

ROYALTI LAGU DI BUS - PO Bus Menggala termasuk yang khawatir terkait royalti lagu.
ROYALTI LAGU DI BUS - PO Bus Menggala termasuk yang khawatir terkait royalti lagu. (istimewa)

Ketua DPD Organda Jatim ini berharap pemerintah hadir dalam mendukung iklim usaha yang terus bertumbuh.

Firmansyah mengaku heran dengan keputusan regulasi royalti mau masuk di bangku-bangku bus umum.

Memperdengarkan musik di perjalanan bus adalah bagian dari layanan, membuat nyaman dan bisa menikmati perjalanan.

"Pelaku usaha seperti PO-PO ini semua patuh tunduk. Tapi kami ingin ada iklim usaha yang mendukung kami berkembang."

"Kami jadi khawatir, sisi apa lagi yang nanti dikenai pajak terhadap keberadaan PO," kata Firmansyah.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved