Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Mbah Wajib Disuruh Bayar Rp 80 Juta untuk Dapat Sertifikat Tanah Warisan yang Diklaim Orang Lain

Kasus tanah warisan diklaim milik orang lain kembali terjadi. Kali ini dialami kakek 70 tahun bernama Mbah Wajib.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Mujib Anwar
TribunJogja.com/Yuwantoro W
TANAH DIKLAIM ORANG - Mbah Wajib memperlihatkan dokumen Letter C di rumahnya, di Dusun Kembangsari, Desa Madyogondo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Rabu (20/8/2025) 

TRIBUNJATIM.COM - Kasus tanah warisan diklaim milik orang lain kembali terjadi.

Kali ini dialami kakek 70 tahun bernama Mbah Wajib.

Warga Dusun Kembangsari, Desa Madyogondo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini malah diminta bayar Rp 80 juta untuk mendapat sertifikat tanah, yang menurut pengakuannya adalah warisan dari orangtuanya.

Kasus yang dihadapi Mbah Wajib viral di media sosial setelah diunggah akun Instagram @andreli_48 yang mengunggah foto rumah sekaligus potret Mbah Wajib

Pada unggahan itu disebutkan, Mbah Wajib kehilangan rumah dan tanah warisan yang telah ia huni selama 62 tahun.

Pada 2019, muncul sertifikat hak milik atas nama W, warga Kabupaten Temanggung, di atas tanah yang ditempati Mbah Wajib

Penerbitan sertifikat tersebut diduga mendapat dukungan dari Pemerintah Desa Madyogondo, meski pihak keluarga menegaskan tidak pernah melakukan transaksi jual beli maupun memberikan izin atas tanah itu.

Mbah Wajib baru mengetahui adanya sertifikat tersebut pada 2023.

Saat itu, pihak keluarga mengaku diminta membayar Rp 80 juta oleh pihak W agar sertifikat tanah bisa dikembalikan.

Menanggapi hal tersebut, anak kedua Wajib, Sawali Muhamat Al Rozin (50), menjelaskan bahwa ayahnya telah menguasai tanah warisan dari orang tuanya sejak 1986 dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat Letter C dan Letter D atau yang lebih dikenal dengan Petok D.

“Letter C dan D itu atas nama bapak semua dan tercatat juga di SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang). Namun, tiba-tiba muncul sertifikat atas nama W pada 2019,” ujar Sawali saat ditemui di rumahnya, Rabu (20/8/2025), melansir dari TribunJogja.

Saat itu, ia didampingi Mbah Wajib yang duduk di sebelahnya.

Baca juga: 8 Fakta Bocah SD Digugat Kakek, Dibantu Dedi Mulyadi hingga Mantu Diminta Pindah Jika Mau Nikah Lagi

Menurutnya, keluarga tidak pernah melakukan jual beli maupun hibah atas tanah tersebut. 

Dirinya juga rutin membayar tagihan PBB yang terakhir dibayarkan pada 2024 lalu, dengan luas tanah 260 meter persegi dan bangunan 120 meter persegi.

“Tidak pernah menjual tanah, hibah atau apapun. Bapak juga saya bilang jangan menandatangani apapun,” terang Sawali.

Ia membenarkan pada 2023 keluarganya sempat dimintai uang sebesar Rp80 juta oleh W.

Karena keberatan, pihak keluarga kemudian mengikuti mediasi di balai desa yang terakhir berlangsung pada 2024. 

Pada mediasi itu, Sawali sempat diperlihatkan fotokopi sertifikat tanah atas nama W.

“Nuntutnya (W) harus bayar Rp 80 juta nanti sertifikat mau dikasihkan,” tuturnya.

Sawali menyebut, orang tuanya telah menempati lahan itu sejak 1963, jauh sebelum terbit Letter C.

Baca juga: Jadwal Sidang Kasus Bocah SD Digugat Kakek Soal Tanah Warisan, 15 Tahun Tinggali Rumah Mendiang Ayah

Saat ini rumah tersebut dihuni Mbah Wajib bersama dirinya serta salah satu dari tiga anak Mbah Wajib.

Meski masih menghuni rumah tersebut, keluarganya berharap hak kepemilikan kembali diakui atas nama Wajib.

“Harapan kami munculnya sertifikat atas nama bapak. Belum ada titik temu sampai 8 kali mediasi di balai desa. Tuntutannya harus mengeluarkan uang 80 juta,” imbuhnya.

Ia menambahkan, pihaknya sudah menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Mungkid serta melapor ke Polresta Magelang. 

Namun, gugatan yang diajukan dinyatakan bukan kewenangan pengadilan, sementara penyidikan di kepolisian juga dihentikan.

“Belum ada hasilnya karena pengadilan memutuskan tidak berwenang mengadili. Lalu kalau kayak gini siapa lagi yang berwenang,” terang Sawali.


Sementara itu, Kepala Desa Madyogondo, Sawal, menjelaskan bahwa berdasarkan ricik desa tahun 1959, tanah tersebut tercatat atas nama Buang, yang berdomisili di Temanggung. 

Diketahui, Buang merupakan ayah dari W.

Adapun Mbah Wajib masih memiliki hubungan keluarga dengan Buang karena keduanya saudara seayah.

“Pak Buang ada di Temanggung. Intinya mau minta tanah yang sekarang ditempati Pak Wajib. Desa melihat data yang ada warisan dari Mbah Soinangun (Ayah Mbah Wajib) kepada Pak Buang,” jelas Sawal.

Menurutnya, pada 2019 putra Buang mengajukan sertifikat melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan dasar ricik desa 1959. 

Permohonan itu kemudian diterima. Dia mengklaim tak ada keberatan dari pihak Mbah Wajib kala itu.

“Ricik atau istilahnya buku atau data kepemilikan tanah sebelum Letter C itu ada. Terus desa waktu itu ada kepanitian PTSL diajukan (dasar ricik) terus terbit dan tidak ada komplain dari Pak Wajib,” ungkapnya.

Baca juga: Sapawi Emosi Tanah yang Nganggur 2 Tahun akan Diambil Pemerintah: Dulu Gak Nikmati Panen

Meski sudah beberapa kali dimediasi, persoalan ini belum menemukan jalan keluar.

Akhirnya Mbah Wajib mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Mungkid.

“Karena tidak ada penyelesaian, pihak Pak Wajib mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Mungkid. Keputusan dari pengadilan, yang bisa memutuskan PTUN,” terangnya.

Ia menyebut, pemerintah desa bahkan sempat dilaporkan ke Polda terkait persoalan ini.  Pihak desa sendiri, lanjutnya, pernah dimintai keterangan oleh Polresta Magelang pada awal 2025.

“Saya juga Pemdes dilaporkan sampai ke Polda. Sudah diproses, Polda melimpahkan ke Polresta,” ucapnya.

Menanggapi klaim keluarga Wajib yang masih mengantongi Letter C dan Letter D, Sawal menyebut sertifikat terbit dengan dasar ricik desa.

“Dalam mediasi berembuk peralihan (dari Pak Wajib ke Pak Buang), kita juga untuk menemukan kebenarannya tidak tahu persis. Peralihannya kita juga bingung,” tambahnya.

Kasat Reskrim Polresta Magelang, Kompol La Ode Arwansyah, membenarkan bahwa penyelidikan kasus ini sudah dihentikan sebelum dirinya menjabat.

“Sudah henti penyidikan sebelum saya menjabat. Alasannya belum ada peristiwa pidana,” katanya.

Kasus Lain

Demi upaya membuka blokir tanah ratusan warga Petemon, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Komisi C DPRD Surabaya mengunjungi Kementerian ATR/BPN, Kamis (21/8/2025).

Bahkan pada Jumat (22/8/2025), mereka juga mendatangi Komisi II DPR RI.

Mereka totalitas memperjuangkan hak atas tanah warga kampung Sawahan Baru itu.

Ratusan tanah warga disebut telah diklaim sepihak oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Di Kementerian ATR/BPN, Komisi C DPRD Surabaya diterima oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Sumarto.

Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Sukadar, menjelaskan, warga Sawahan Baru memiliki bukti kepemilikan hak milik yang sah dan diakui oleh BPN.

Totalnya ada sekitar 209 persil.

Bukti kepemilikan itu dimiliki warga sejak puluhan tahun lalu.

Baca juga: Fakta Tanah Nganggur 2 Tahun Disita Negara, Viral Jadi Perdebatan, Pemilik SHM Diimbau Tidak Panik

Warga selama puluhan tahun bisa menggunakan SHM tersebut untuk berbagai keperluan, mulai dari peralihan hak yang disetujui BPN, hingga untuk agunan di lembaga keuangan.

 Masalah muncul ketika PT KAI pada 2016 tiba-tiba mengajukan klaim bahwa tanah tersebut adalah bagian dari aset mereka.

PT KAI mengajukan permintaan blokir ke BPN atas tanah warga tersebut.

Klaim PT KAI itu membuat BPN memblokir SHM warga.

Mau peralihan tidak bisa, mau transaksi jual-beli rumah tidak bisa, mau diagunkan juga tidak bisa.

Ada total 208 persil tanah warga terblokir.

"Jelas itu sangat mengganggu perekonomian warga yang ingin berwirausaha. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuat warga hidup dalam keresahan,” ujar Sukadar, Jumat (22/8/2025).

Bahkan ada juga lokasi SDN Petemon milik Pemkot Surabaya yang diklaim oleh KAI.

Ia mengatakan, ini membuat ratusan anak yang sedang menuntut ilmu dibayangi ketidakpastian.

Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Aning Rahmawati menuturkan, kedatangan ke Kementerian ATR/BPN dan Komisi II DPR RI diharapkan bisa membantu mengurai masalah, sehingga warga bisa mendapatkan kembali haknya.

”Kami meminta blokir atas tanah warga dicabut karena sesuai peraturan Menteri ATR/BPN, semestinya pengajuan blokir gugur dengan sendirinya setelah 30 hari jika tidak ada permintaan sita jaminan dari otoritas terkait yaitu pengadilan,” ujar Aning.

Sekretaris Komisi C DPRD Surabaya, Alif Iman Waluyo menambahkan, pihaknya juga memohon Komisi II DPR RI untuk berkenan mengadvokasi penyelesaian masalah ini, termasuk dengan menggelar rapat dengar pendapat di DPR RI yang mengundang semua pihak terkait, mulai Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, hingga PT KAI.

”Semoga warga bisa kembali mendapat haknya, kembali hidup nyaman, dan tidak terus dirugikan akibat klaim sepihak PT KAI seperti ini,” ujar Alif.

Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan menjelaskan, posisi warga Sawahan Baru sebenarnya telah jelas.

Mereka memiliki bukti kepemilikan yang sah.

Baca juga: Tampang Budi Riyanto Otak Kasus Mafia Tanah di Manyar Gresik Ditetapkan Jadi DPO, Kini Diburu Polisi

Warga juga telah melunasi pembayaran ke negara terkait peralihan hak tanah tersebut ke warga.

Dan itu semua resmi.

Oleh Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan juga dinyatakan sah.

Dari sisi bukti kepemilikan warga, semuanya menyatakan sah.

Tapi BPN berhati-hati dalam membuka blokir karena yang mengklaim adalah PT KAI yang notabene adalah BUMN. Tapi semestinya hak rakyat harus dipenuhi.

"Sebagai tindak lanjut, kami akan berkirim surat ke Menteri ATR/BPN untuk memohon pendampingan khusus terkait konflik lahan ini. Spirit kita sama, karena kami yakin Presiden Prabowo Subianto memiliki keberpihakan yang jelas untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat,” kata Eri.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved