1. Perdarahan
Salah satu risiko yang sering terjadi setelah aborsi adalah perdarahan berat melalui vagina. Aborsi kehamilan di bawah 13 minggu memiliki risiko perdarahan yang lebih kecil dibandingkan kehamilan yang usianya sudah di atas 20 minggu.
Perdarahan berat juga lebih berisiko terjadi jika masih ada jaringan janin atau ari-ari yang tertinggal di dalam rahim setelah aborsi. Guna menanganinya, diperlukan transfusi darah dan tindakan kuret untuk mengangkat sisa jaringan.
Baca juga: Alasan Sebenarnya Sepasang Kekasih Simpan 7 Mayat Bayi Aborsi, Semua Berawal Niat Gelap Sejak 2012
2. Infeksi
Infeksi merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi akibat aborsi. Kondisi ini biasa ditandai dengan demam, munculnya keputihan yang berbau, dan nyeri yang hebat di area panggul. Pada kasus infeksi yang berat, sepsis bisa terjadi setelah aborsi.
3. Kerusakan pada rahim dan vagina
Bila tidak dilakukan dengan benar, aborsi dapat menyebabkan kerusakan pada rahim dan vagina. Kerusakan ini dapat berupa lubang maupun luka berat pada dinding rahim, leher rahim, serta vagina.
4. Masalah psikologis
Tak hanya masalah fisik, trauma psikologis juga dapat dirasakan oleh wanita yang menjalani aborsi. Perasaan bersalah, malu, stres, cemas, hingga depresi merupakan beberapa masalah psikologis yang banyak dialami oleh wanita setelah menjalani aborsi.
Risiko terjadinya komplikasi ini akan lebih besar jika aborsi dilakukan secara ilegal, dilakukan di fasilitas kesehatan yang kurang memadai, atau menggunakan metode tradisional yang tidak terjamin keamanannya.
Oleh karena itu, saat hendak menjalani aborsi, perlu dilakukan pemeriksaan medis dan pertimbangan dari dokter, agar risiko komplikasi tersebut dapat dicegah.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com