TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Pemilihan umum (pemilu) 2024 menjadi topik yang hangat dibicarakan masyarakat Indonesia saat ini.
Keputusan memasangkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi Prabowo Subianto mengundang perhatian luas.
Menimbang status Gibran yang masih menjadi anggota PDIP yang merupakan salah satu oposisi dari kubu koalisi Prabowo.
Menanggapi hal tersebut Irfa’i Afham SIP MSi dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), UNAIR memberikan penjelasan.
Menurutnya, ada strategi politik dibalik pemasangan Gibran sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Pihaknya mengklaim pemasangan tersebut tentu dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: Respon Gibran Dicap Pengkhianat PDIP, Tanggapi Santai Meski Belum Mundur Sebagai Kader PDIP
"Pesamasangan tersebut tentu dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan calon presiden (capres) dan cawapres berusia di bawah 40 tahun, asalkan memiliki pengalaman menjadi kepala daerah," ujar Irfai, Jumat (27/10/23).
*Pengaruh Jokowi*
Irfai menjelaskan bahwa tidak bisa melepaskan Gibran dari pengaruh dan hubungan keterkaitannya dengan Jokowi. Mengingat, kuasa Jokowi sangat besar dan mendominasi politik nasional. Kehadiran Gibran sebagai anak pertama Presiden Jokowi juga memunculkan pertanyaan tentang apakah ini merupakan tanda pembangunan politik dinasti. Hal ini berpotensi memengaruhi opini publik dan mengangkat pertanyaan tentang kelanjutan kekuasaan dalam keluarga presiden.
Rekam jejak karir Gibran sebagai walikota Solo tidak lepas dari privilege keberhasilan Jokowi sebagai walikota pada periode 2005-2012. Tentu hal tersebut menjadi ‘karpet merah’ Gibran saat maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) di Solo. Kepercayaan masyarakat Solo pada Jokowi secara tidak langsung akan juga diwariskan ke Gibran.
Jika ditinjau lebih mendalam, sikap dan pernyataan Jokowi saat ini menunjukan memberi dukungan Gibran sebagai cawapres. Kalimat tersebut tersampaikan dengan konotasi restu, saat Jokowi sedang ditanya publik terkait pencalonan Gibran. Power Jokowi sebagai presiden tentunya sangat diperhitungkan dalam pemilu 2024.
"Kita tidak bisa melepaskan Gibran dari pengaruh Jokowi sebagai presiden aktif saat ini, mengingat kuasa Jokowi sangat besar dan telah mendominasi sistem politik nasional," jelas Irfai.
Baca juga: Respon Iriana Jokowi soal Gibran Resmi Jadi Cawapres Prabowo, Isyarat Goyang Lalu Acungkan Jempol
Baca juga: Respons PDIP Kota Batu Soal Gibran Jadi Cawapres Dampingi Prabowo Subianto, Singgung Soal Etika
*Implikasi Putusan MK*
Keputusan MK yang memperbolehkan pencalonan presiden dan wakil presiden di bawah usia 40 tahun dengan prasyarat sudah pernah menjabat menjadi kepala daerah juga menjadi sorotan. Irfai menyampaikan, wajar jika publik menerjemahkan putusan tersebut mengerucut pada Gibran. Regulasi tersebut seakan sebagai ‘pesanan’ untuk melanggengkan Gibran dalam panggung Pemilu 2024. Keputusan ini telah memicu reaksi publik yang beragam.
"MK, yang seharusnya menjadi benteng konstitusional, sayangnya dengan melihat realitas politik. Saat ini peran MK kembali dipertanyakan oleh publik," jelasnya lagi.
Keputusan MK ini memunculkan pertanyaan tentang resistensi terhadap intervensi dari kepala negara atau bahkan kepentingan keluarga. Selain itu, jika ditarik hubungan kekerabatan putusan MK yang menjadi tiket Gibran. Putusan tersebut berasal ketua MK yang juga merupakan pamannya sendiri. Sehingga menimbulkan dugaan subjektivitas oleh publik. Sangat rasional jika tirani kekuasaan tersebut digunakan untuk merubah regulasi yang ada.
"Ini memunculkan pertanyaan tentang resistensi terhadap intervensi dari kepala negara atau bahkan kepentingan keluarga. Keputusan ini juga memperkuat tuduhan tentang politik dinasti dan oligarki dalam politik Indonesia," ujar dia.