Bahkan sembari berseloroh, Haikal menyebut pertarungan politik yang keras di internal Nahdliyin sudah hal biasa, tidak perlu dianggap berlebihan.
Misalnya juga berlaku pada Pilgub Jatim 2018, saat dua tokoh NU yakni Khofifah dan Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menjadi calon.
Pertarungan tidak sampai memecah belah umat.
"Jadi sudah biasa keras di luar tapi lunak di dalam," ucapnya.
Ketua Ansor Jatim Musaffa Safril menilai, perbedaan pilihan politik pada warga Nahdliyin merupakan hal lumrah.
Apalagi NU dikenal sangat luwes dan memiliki prinsip moderat. Bisa masuk ke berbagai lini dan kelompok politik. Sehingga perbedaan politik tidak bisa dipungkiri.
"Jadi bukan sesuatu yang aneh," ujar Safril.
Terlepas dari konteks pertarungan, Ansor Jatim memandang pilkada merupakan agenda strategis untuk memastikan pembangunan daerah, setidaknya untuk lima tahun mendatang.
"Sehingga ini menjadi penting untuk kita bersama memastikan suksesnya pilkada. Seluruh pihak harus memberikan sumbangsih," ucap Safril.
Ketua PW Muslimat NU Jatim, Nyai Hj Masruroh Wahid bersyukur karena tiga paslon pilgub masing-masing merupakan Nahdliyin. Sehingga mewarnai kontestasi saat ini.
Baginya hal itu lumrah, sebab NU lahir dan identik dengan Jawa Timur.
"Jadi saya senang berarti NU sangat luar biasa di Jawa Timur. Luar biasanya lagi semua calon gubernur perempuan," ucapnya.
Nyai Masruroh memandang perbedaan dalam politik sebagai hal yang lumrah. Termasuk perbedaan pilihan politik warga Nahdliyin sekalipun.
Nyai Masruroh turut meyakini Pilgub Jatim 2024 tidak akan menimbulkan gesekan. Apalagi ini diikuti tiga pasangan calon, bukan pertarungan head to head.
"Hari ini saya yakin tidak akan keras seperti pertarungan 2018," ungkapnya.