Berita Viral

Tergiur Gaji Rp 28 Juta Per Bulan, WNI Malah Diperbudak di Eropa, Sembunyi saat ada Polisi

Editor: Torik Aqua
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DIPERBUDAK - Ilustrasi restoran. Nasib WNI tergiur gaji Rp 28 juta malah diperbudak di Eropa. Sembunyi saat ada polisi.

TRIBUNJATIM.COM - Nasib WNI tergiur gaji hingga Rp 28 juta per bulan, namun malah diperbudak di Eropa.

Kini, kasus tersebut ditangani oleh polisi.

Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah menangkap dua orang berinisial KU (42) dan NU (41) yang kini menjadi tersangka kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

KU dan NU merupakan warga Tegal dan Brebes.

Mereka ditangkap usai diduga menipu 83 orang, modal iming-iming bekerja legal di luar negeri, dan menyebabkan kerugian total mencapai lebih dari Rp 5,2 miliar.

Baca juga: Penghasilan Kini Rp 150 Juta Perbulan, Mantan TKI Dulunya Hidup Sengsara, Berawal Ikut-ikutan Teman

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Dwi Subagio, menjelaskan bahwa pengungkapan kasus ini berawal dari laporan dua korban berinisial AM dan EKB.

"Modus operandi yang digunakan tersangka adalah dengan menjanjikan korban akan dipekerjakan sebagai ABK kapal atau pelayan restoran di Spanyol dengan gaji antara 1.200 hingga 1.500 euro per bulan," kata Dwi saat gelar perkara di Mapolda Jawa Tengah, Kamis (19/6/2025).

Jika dikonversi menjadi Rupiah, 1500 Euro setara dengan 28.233.000,00 sesuai dengan kurs pada Kamis (19/6/2025).

Menurut Dwi, korban-korban yang mayoritas berasal dari wilayah Jawa Tengah dikirim ke beberapa negara seperti Spanyol, Portugal, Yunani, dan Polandia.

Para tersangka menjanjikan pekerjaan sebagai pelayan restoran dan anak buah kapal, sekaligus menjanjikan pengurusan izin tinggal di negara tujuan.

Namun, dalam kenyataannya, para korban justru bekerja dalam kondisi yang tidak layak dan tanpa dokumen legal.

“Mereka juga mengiming-imingi pengurusan izin tinggal, namun pada kenyataannya para korban justru berada dalam kondisi kerja tidak layak, bahkan tanpa legalitas yang sah,” ungkap Dwi.

Salah satu korban bahkan mengaku harus bekerja selama 24 jam selama lima hari kerja, dengan gaji yang jauh di bawah kesepakatan awal.

"Mereka juga disuruh pemilik restoran untuk bersembunyi jika ada razia polisi," ucapnya.

Karena merasa tidak aman dan mengalami kondisi kerja yang tidak sesuai, korban akhirnya memutuskan kembali ke Indonesia dengan biaya pribadi, lalu melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian.

"Dan kemudian melaporkan peristiwa yang dialaminya ke pihak kepolisian," terangnya.

Atas perbuatannya, KU dan NU dijerat dengan Pasal 81 jo Pasal 69 dan Pasal 83 jo Pasal 68 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Selain itu, keduanya juga dijerat dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Ancaman hukumannya berupa pidana penjara minimal 3 hingga maksimal 15 tahun, serta denda hingga Rp 5 miliar.

Sementara itu, kisah WNI yang mencari peruntungan di negeri orang juga pernah dialami oleh Papi.

 Perjalanan seorang WNI yang berjuang menghidupi dirinya hingga bisa mendapatkan visa engineering di Jepang.

 WNI itu sebut saja namanya Papi (nama samaran).

Ia meruakan seorang pria ang datang ke Jepang pada 2016.

Baru-baru ini, Tribunnews.com mendengar pengakuan eksklusif dari Papi.

Baca juga: Tak Menyesal Mundur Jadi Kades, Dodi Bisa Beli Sawah dan Mobil usai ke Jepang, Haru Ditangisi Warga

Papi datang ke Jepang pada 2016 dengan nekat menggunakan e-paspor agar lebih mudah masuk ke negara tersebut demi mencari pekerjaan.

"Habis uang saya puluhan juta rupiah diperas para calo tenaga kerja di Indonesia dengan berbagai alasan. Namun, suatu ketika mereka mengirim puluhan tenaga kerja, dan saya masuk ke dalam kelompok itu. 

Akhirnya, saya bisa masuk ke Jepang, tentu dengan visa yang tidak benar, yaitu sebagai wisatawan," paparnya.

Sebelum visa waiver habis dalam 15 hari, Papi segera mengajukan aplikasi visa suaka (namin) ke imigrasi Jepang agar tidak berstatus overstay.

Demi kelangsungan hidup di Jepang, Papi mencari tempat tinggal murah di Hiroshima dengan biaya sewa 20.000 yen per bulan.

"Yang penting saya punya alamat di Jepang, karena surat dari imigrasi memang akan datang untuk korespondensi," ujarnya.

Beberapa bulan setelah pengajuan, permohonannya direview.

Akhirnya, ia mendapatkan izin perpanjangan visa selama enam bulan dan diperbolehkan bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri.

"Setelah bisa bekerja, saya merasa agak lega. Saya mencari uang sebanyak mungkin hingga akhirnya bertemu dengan Sacho (CEO) perusahaan Jepang yang baik," kenangnya.

Sacho tersebut bersedia menjaminnya hingga akhirnya dapat mengalihkan visanya dari visa namin menjadi visa engineering.

"Karena memang latar belakang pendidikan saya adalah engineering," tambahnya.

Sejak saat itu, ia menjadi orang kepercayaan Sacho dan menerima gaji yang cukup besar, sehingga bisa hidup berkecukupan.

"Sejak 2019, saya mendapatkan visa engineering dan membayar pajak serta semua kewajiban yang ditetapkan pemerintah Jepang," katanya.

 Berjuang Mendapatkan Visa Permanent Resident

Baru-baru ini, Papi berkonsultasi dengan pengacara Jepang untuk mendapatkan visa permanent resident (PR).

"Meskipun kamu sudah tinggal lebih dari 10 tahun, yang dihitung hanya sejak 2019 saat kamu mulai membayar pajak dan memenuhi kewajiban lainnya. Jadi, masih kurang empat tahun lagi untuk memenuhi syarat utama mendapatkan visa PR," jelas pengacaranya.

Kini, Papi merasa bimbang. Apakah ia harus pulang ke Indonesia atau tetap berjuang di Jepang? Apalagi, ia baru saja mengalami penipuan besar.

"Belum lama ini, saya tertipu dan kehilangan lebih dari Rp400 juta rupiah oleh seseorang yang mengaku teman dari Indonesia. Dia membawa kabur gaji-gaji saya yang dititipkan kepadanya," ungkapnya.

Ia menuturkan bahwa saat pertama kali bekerja di Jepang pada 2017, ia pernah kehilangan sekitar Rp80 juta rupiah karena dua bulan gajinya tidak dibayarkan.

Namun, kehilangan uang bukan membuatnya menyerah, justru semakin memotivasi dirinya untuk mencari penghasilan lebih banyak.

"Saya ingin lebih leluasa bergerak di bidang bisnis impor-ekspor, jual beli, jasa, dan lainnya di Jepang tanpa harus menjadi karyawan pabrik," katanya.

Kerugian besar itu membuatnya berpikir ulang.

Haruskah ia bertahan sebagai karyawan pabrik selama empat tahun lagi demi mendapatkan visa PR, ataukah keluar dari perusahaan dan mengubah visanya menjadi visa bisnis agar lebih fleksibel dalam menjalankan usaha?

Ia sadar, penghasilan yang kecil dapat memengaruhi peluangnya mendapatkan visa PR nantinya.

"Yang pasti, saya masih mencari perusahaan dengan gaji besar dan terus berpikir bagaimana mengubah hidup saya ke arah yang lebih baik. Namun, saya belum menemukan jawabannya," ujarnya.

Kisah Cinta? Nanti Dulu

Meski menghadapi berbagai tantangan, satu hal yang membuatnya tenang adalah status visanya yang sudah resmi sejak 2019.

Namun, ia masih terus berusaha meningkatkan penghasilannya demi kestabilan ekonomi.

Bagaimana dengan kisah cintanya?

"Saya masih fokus kerja cari duit. Lagi asyik cari duit. Wanita belakangan saja, lah," ujarnya sambil tertawa.

Ia berharap kehidupannya semakin baik di tahun 2025 ini.

Insya Allah, ya, Papi!

Laporan Koresponden Richard Susilo dari Jepang

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Berita Terkini