Tak sedikit yang memilih mematikan fitur hiburan, dari pada harus berurusan dengan kewajiban pembayaran royalti.
Menurut Al Qodar Purwo Sulistyo, pakar Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, pemutaran lagu dalam bus masuk dalam kategori penggunaan komersial yang dikenai kewajiban royalti.
"Menurut PP 56 Tahun 2021, penggunaan lagu untuk kepentingan komersial memang harus membayar royalti. Pemutaran lagu dalam bus umum yang digunakan untuk usaha transportasi jelas tergolong komersial dan wajib membayar royalti," ujar Qodar saat dihubungi Tribun Jatim Network, Senin (18/8/2025).
Namun begitu, Qodar menegaskan, penagihan royalti tidak dilakukan secara otomatis.
Ada proses yang harus dilalui oleh pihak pengguna lagu.
"Mekanismenya, pengguna harus mengidentifikasi lagu yang digunakan dan mengajukan pendaftaran atau permohonan lisensi ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Setelah itu, LMKN yang akan menghitung besaran royalti berdasarkan tarif yang sudah ditentukan," jelas pria yang juga Ketua Program Studi Ilmu Hukum UM Surabaya ini.
Terkait batasan kategori komersial, Qodar menyebutkan, PP 56/2021 tidak menetapkan nominal omzet minimum sebagai patokan.
Selama penggunaan lagu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, maka hal itu tergolong komersial.
"Tidak ada batasan omzet. Selama ada motif keuntungan, maka wajib membayar royalti," ujarnya lagi.
Meski begitu, untuk sektor usaha mikro seperti warung kopi (warkop), LMKN disebut menyediakan tarif khusus yang lebih ringan.
Ini menjadi bentuk keberpihakan terhadap pelaku usaha kecil.
Saat ditanya mengenai implementasi aturan ini di lapangan, Qodar mengaku belum melihat penerapan aktif pembayaran royalti oleh pelaku usaha transportasi.
"Sepengetahuan saya, sampai saat ini belum berjalan karena banyak PO bus yang memilih menghentikan pemutaran lagu agar tidak terkena kewajiban membayar royalti," pungkasnya.
Iapun mengimbau agar pemilik usaha mendaftarkan atau mengajukan lisensi ke LMKN jika akan memutar musik untuk menghindari masalah hukum.