Suami menyadap nira, dan Lamisih mengolahnya di dapur rumah.
Namun, tantangan besar mengadang Lamisih dan suami saat itu.
Tidak banyak yang tahu produknya.
Tempat tinggal di desa yang cukup jauh dari pusat keramaian dan minimnya modal untuk promosi membuat usaha Lamisih dan suami kembang kempis.
Gula aren hasil olahan dapur rumah mereka hanya laku jika ada pembeli yang datang langsung ke rumah.
Baca juga: Beri Camilan & Minuman Gratis untuk Penumpang, Driver Ojol Cahyana Rela Sisihkan Rp20 Ribu Tiap Hari
Titik balik datang pada akhir 2017, seperti dilansir dari Kompas.com.
Lamisih dan keluarganya terdaftar sebagai penerima manfaat PKH.
Melalui pendampingan, Lamisih belajar banyak hal, mulai strategi pemasaran yang efektif, cara mengemas produk agar lebih menarik, hingga menentukan harga jual yang layak.
"Setelah pendampingan, banyak jalan terbuka. Pemasaran jadi lancar, dan kami lebih percaya diri mengembangkan usaha," kenang Lamisih, Rabu (21/8/2025).
Seiring berjalannya waktu, usaha gula aren Lamisih kian berkembang pesat.
Gula aren produksinya kini punya pasar tetap, dengan harga bervariasi dari Rp10.000 hingga Rp60.000, tergantung ukuran dan bentuk kemasannya.
Kesejahteraan keluarganya seketika meningkat.
Lamisih pun enggan terus menerus menjadi beban negara.
Ia memutuskan untuk mengajukan graduasi mandiri atau keluar dari penerima PKH.
Bukan hanya karena kondisi ekonomi yang membaik, keputusan Lamisih juga didorong niat mulia.
Ia merasa sudah saatnya memberikan kesempatan bagi keluarga lain yang masih lebih membutuhkan bantuan.
"Kalau usaha sudah berkembang dan penghasilan stabil, rasanya sudah saatnya lepas."
"Bantuan itu lebih baik diberikan kepada keluarga yang benar-benar masih kesulitan," tutur Lamisih.
"Bansos itu bukan untuk selamanya. Kalau kita mau usaha, sabar, dan terus belajar, insyaallah bisa mandiri," lanjutnya.