Breaking News
Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

DPRD Jatim Dorong Regulasi Pembatasan Media Sosial untuk Anak

Fenomena anak di bawah umur yang kian akrab dengan media sosial, menimbulkan kekhawatiran serius

Tangkapan layar YouTube Harian Surya
GEBRAKAN WAKIL RAKYAT - Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Jairi Irawan saat hadir dalam podcast DPRD Jatim Gebrakan Wakil Rakyat di Studio TribunJatim Network belum lama ini. Dalam podcast yang dipandu oleh Jurnalis Senior Harian Surya Rendy Nicko ini, Jairi mengupas tentang dampak medsos untuk anak. 

Poin penting:

  • DPRD Jatim dorong regulasi pembatasan media sosial bagi anak untuk mencegah dampak negatif, merespons kekhawatiran atas penggunaan gadget anak.
  • Pengaruh media sosial dinilai mengganggu tumbuh kembang anak, baik dari sisi kognitif (akal, pengetahuan) maupun afektif (sikap, emosi, empati).
  • Jairi Irawan usulkan pendekatan regulatif dan sosialisasi dibanding menambah kurikulum sekolah. Ia mencontohkan regulasi ketat seperti di Tiongkok (aplikasi Douyin) sebagai referensi pembatasan konten untuk anak.

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Yusron Naufal Putra 

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Fenomena anak di bawah umur yang kian akrab dengan media sosial, menimbulkan kekhawatiran serius. Agar tidak terjadi efek negatif, DPRD Jatim kini mendorong adanya upaya pembatasan media sosial terhadap anak melalui regulasi secara khusus. 

Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Jairi Irawan termasuk yang khawatir betul terhadap dampak penggunaan sosial media terhadap anak. Terlebih, data BKKBN menyebutkan, dalam sehari anak-anak menghabiskan 7 hingga 8 jam dengan bermain gadget.

Sedangkan berinteraksi dengan orang tua, dengan keluarga itu hanya 30 menit. "Jauh sekali perbandingannya," kata Jairi saat berbincang dalam Podcast DPRD Jatim Gebrakan Wakil Rakyat di Studio TribunJatim Network, seperti dikutip Minggu (7/9/2025). 

Tentu, pengaruh dari luar semakin terbuka. Dari sisi inilah, potensi dampak negatif sangat dikhawatirkan. Padahal, masa tumbuh kembang anak sedianya dapat dioptimalkan dengan melatih kognitif, atau kemampuan berkaitan dengan akal, pikiran dan pengetahuan. 

Baca juga: Hapus Anggaran Kunker Luar Negeri, DPRD Jatim Siap Kawal Program Pro Rakyat

Termasuk juga melatih afektif anak yang artinya membantu anak mengembangkan sikap, perasaan, emosi, nilai, dan empati agar mereka tidak hanya cerdas secara kognitif. Namun, dengan pengaruh dunia luar dan jauh dari interaksi orang tua sebagai orang terdekat hal ini dikhawatirkan tidak optimal. 

"Jadi saya ada harapan untuk anak-anak kita itu memang perlu dibatasi baik waktu ataupun aksesnya untuk media sosial kita," ujar Jairi dalam podcast yang dipandu oleh Jurnalis Senior Harian Surya Rendy Nicko ini. 

Jairi tak memungkiri, bahwa beberapa anak memang berkembang dengan bantuan teknologi informasi. Misalnya, mulai mengenal bahasa asing melalui YouTube dan semacamnya. Namun, hal ini hanya disadari oleh sedikit orang tua. Tentu, pengaruh buruk banyak ditemukan diluar itu. 

Sehingga, hal ini membutuhkan perhatian serius. Terlebih ada data kajian dari Unicef bahwa ada 13,4 persen anak punya akun yang dirahasiakan dari orang tua. Nah, sedangkan sebesar 32,1 persen itu anak membagikan informasi pribadinya di media sosial

Disisi lain, juga ada data bahwa sekitar 87 persen itu anak-anak di Indonesia sudah dikenalkan media sosial sebelum menginjak 13 tahun. Oh. Lalu, 92 persen anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah itu sama yang lebih banyak mengakses media sosial

"Dengan adanya fakta-fakta ini memang kita harus mengarah dan harus serius memikirkan masa depan anak-anak kita," jelas Jairi yang merupakan politisi muda Partai Golkar tersebut. 

Untuk mengoptimalkan hal ini, Jairi berpandangan bahwa tidak perlu literasi digital dimasukkan dalam kurikulum di sekolah. Ini mengingat sudah banyak muatan yang tercantum dalam kurikulum. Jairi justru lebih setuju jika ada regulasi yang nantinya dimassifkan dengan sosialisasi. 

"Pemerintah harus membuat regulasi yang yang jelas. Selain itu juga ini harus diulang-ulang terus. Ketika mungkin bupati, terus walikota, terus DPRD, sosialisasi ke masyarakat harus diingatkan terus-menerus," terang mantan Tenaga Ahli di Kementerian Sosial ini. 

Alumnus Unair Surabaya ini mengatakan, beberapa negara telah melakukan semacam sensor untuk media sosial. Misalnya di China. Mereka memiliki aplikasi semacam TikTok yang versi lokal, yaitu Douyin. Dikutip dari berbagai referensi, aplikasi ini terbilang ketat dibanding versi internasional. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved