Polemik Larangan Impor Pakaian Bekas
Pelaku Thrifting Surabaya ini Buka Suara Soal Larangan Impor: Bukan Ancaman, Peluang Ekonomi Kreatif
Isu soal rencana pelarangan impor pakaian bekas yang kembali mencuat setelah pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya
Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Sudarma Adi
Ringkasan Berita:
- Pernyataan Utama: Pelaku usaha meminta pemerintah melegalkan dan meregulasi bisnis thrifting, bukan melarang total.
- Alasan Legalisasi: Agar pemerintah dapat menarik pajak dan mengamankan ekosistem usaha kecil (UMKM).
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Fikri Firmansyah
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Isu soal rencana pelarangan impor pakaian bekas yang kembali mencuat setelah pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya telah menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi para pelaku usaha thrifting di berbagai daerah, termasuk di Surabaya.
Salah satu pelaku usaha yang turut menanggapi kebijakan ini adalah Arief Suwandi, owner toko thrifting Cantolan Kastok, yang telah berdiri lebih dari 14 tahun di Surabaya.
Arif menilai, kebijakan pelarangan thrifting justru berpotensi menekan sektor usaha kecil yang selama ini menjadi bagian dari ekosistem ekonomi kreatif.
Baca juga: Respon Pelaku Thrifting Surabaya Soal Larangan Impor Baju Bekas: Seleksi Ketat Sampah Tekstil
Vintage Hingga Jutaan Rupiah, Penggerak UMKM Anak Muda
“Kalau menurut saya pribadi, justru lebih baik dilegalkan. Karena yang dipermasalahkan itu kan legalitasnya. Kalau dilegalkan, pemerintah juga bisa dapat pajak, pelaku usaha juga aman. Masalahnya, selama ini kan dianggap ilegal, padahal bisa diregulasi,” ujar Arief kepada TribunJatim.com dan Harian Surya, Jumat (14/11/25).
Cantolan Kastok menjadi salah satu toko thrifting tertua di Surabaya. Berdiri sejak tahun 2011, toko ini menawarkan berbagai produk apparel, mulai dari baju, topi, sepatu, hingga jaket.
Sistem penjualannya dibagi dua lantai. Lantai 1 untuk koleksi obral dengan harga Rp25 ribu hingga Rp100 ribu, dan lantai 2 untuk koleksi selected items dengan kualitas tinggi yang dibanderol mulai di atas Rp100 ribu hingga Rp2-3 juta per potong.
“Kalau yang di atas itu biasanya barang vintage, rare item, dan masih sangat bagus kondisinya. Banyak peminatnya meskipun bekas,” jelas Arief.
Ia mengaku seluruh barang yang dijualnya diperoleh dari rekanan dalam negeri, bukan impor langsung, untuk menghindari jalur ilegal. “Saya ambilnya dari orang-orang Indonesia yang sudah ready barangnya di sini. Bukan dari luar negeri langsung,” tambahnya.
Arief menyebut bisnis thrifting justru menjadi ruang ekonomi baru bagi banyak anak muda dan pelaku usaha kecil. Dari satu toko seperti Cantolan Kastok, setidaknya 10 orang bisa mendapat pekerjaan tetap.
“Kita ini juga penggerak UMKM, sama seperti pelaku usaha lain. Kita mempekerjakan orang, membayar sewa tempat, dan punya kontribusi ekonomi. Jadi aneh kalau thrifting dianggap merusak UMKM,” ungkapnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah seharusnya tak serta-merta melarang seluruh kegiatan thrifting, melainkan membedakan antara produk layak jual (grade atas) dengan barang campuran atau KW (grade bawah).
“Yang perlu diatur itu yang grade bawah, karena sering dicampur dengan barang KW. Tapi kalau yang grade atas, harusnya tidak masalah. Malah sayang kalau dilarang,” kata Arief.
Meski kebijakan pelarangan thrifting belum resmi diteken, Arief mengaku sudah mulai merasakan dampaknya pada pasokan barang. Para pemasok besar yang biasa menyediakan stok kini memilih menahan diri.
“Penjualan sih masih stabil, tapi pasokan barang agak seret. Karena para juragan di atas juga ragu mau jalanin barangnya. Semua masih nunggu keputusan resmi pemerintah,” ujarnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jatim/foto/bank/originals/Arief-Suwandi-pemilik-toko-thrifting-Cantolan-Kastok-di-Surabaya.jpg)