Polemik Larangan Impor Pakaian Bekas
Pelaku Thrifting Surabaya ini Buka Suara Soal Larangan Impor: Bukan Ancaman, Peluang Ekonomi Kreatif
Isu soal rencana pelarangan impor pakaian bekas yang kembali mencuat setelah pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya
Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Sudarma Adi
Namun begitu, ia optimistis bisnis thrifting masih akan tetap diminati, apalagi oleh kalangan muda yang semakin sadar gaya dan keberlanjutan. “Pasarnya tetap ada. Sekarang justru anak muda banyak yang bangga pakai barang thrift, karena selain murah juga punya karakter unik,” tuturnya.
Baca juga: Tanggapan Pakar Ekonomi Unair Prof Rossanto Soal Larangan Impor Pakaian Bekas: Langkah Tepat
Arief juga menyoroti bagaimana beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura justru sudah melegalkan dan mengatur bisnis thrifting secara resmi.
“Di Malaysia itu malah dilegalkan. Setiap bulan atau tiga bulan sekali ada acara resmi dari pemerintah yang mendukung thrifting. Harusnya Indonesia bisa belajar dari situ. Kalau legal, semua jadi tertib,” ucapnya.
Bagi Arief, bisnis pakaian bekas bukan sekadar soal jual-beli, tapi bagian dari budaya berkelanjutan dan kreativitas anak muda. Ia menilai bahwa di balik stigma “barang bekas”, thrifting justru mengajarkan nilai daur ulang dan apresiasi terhadap kualitas lama yang masih layak pakai.
“Selama barang itu dirawat dan di-treatment dengan benar sebelum dijual, tidak ada masalah kesehatan. Malah membantu mengurangi limbah tekstil,” katanya.
Arief berharap pemerintah pusat membuka ruang dialog dengan para pelaku usaha thrifting sebelum membuat keputusan final.
“Kami siap diatur, siap bayar pajak, asal tidak langsung dilarang. Karena thrifting juga bagian dari roda ekonomi masyarakat kecil,” pungkasnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jatim/foto/bank/originals/Arief-Suwandi-pemilik-toko-thrifting-Cantolan-Kastok-di-Surabaya.jpg)