Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Kaum Muda di Jombang Pilih Diskusi Melingkar Bahas Sistem Demokrasi, Banyak Pembatasan Ruang Kritik

Siskusi ini langkah bijak di tengah situasi nasional yang saat ini sedang tidak menentu dengan banyaknya aksi unjuk rasa di berbagai daerah

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Samsul Arifin
TribunJatim.com/Anggit Puji Widodo
ANAK MUDA JOMBANG - Diskusi terbuka bertema “Anak Muda Jombang Jaga Demokrasi: Membangun Kesadaran Hak Hukum untuk Ruang Publik yang Aman dan Inklusif” yang digelar di Kantor WCC Jombang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada Rabu (3/9/2025). Hadirkan para ketua organisasi eksternal dan kelompok anak muda di Jombang membahas masa depan demokrasi di Indonesia.  

Namun, kekhawatiran muncul ketika banyak anak muda tidak merasa resah melihat realitas sosial dan politik yang penuh masalah. IPPNU sendiri terus berupaya mengajak anak muda untuk berpikir kritis dan peduli. terhadap kondisi bangsa. 

"Sayangnya, wadah untuk mengembangkan kesadaran tersebut masih terbatas, sehingga perjuangan anak muda sering terhenti di tengah jalan. Alih-alih semakin sadar, sebagian justru kembali kehilangan semangat karena minimnya ruang partisipasi yang benar-benar mendukung mereka," imbuhnya. 

Aan Anshori, salah satu penanggap, mengapresiasi peran anak muda yang hadir dalam diskusi tersebut. Ia menilai generasi Z justru memiliki kapasitas kritis yang penting bagi bangsa. 

Namun, ia juga mengingatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, mulai dari represifitas aparat hingga praktik politik yang cenderung hanya memuaskan nafsu kekuasaan Menurutnya, kepemimpinan moral sangat diperlukan untuk menyeimbangkan praktik demokrasi.

"Secara prosedural, demokrasi di Indonesia tampak berjalan baik. Namun, secara substansial, banyak kebijakan yang justru diskriminatif. Contoh peristiwa 31 Agustus lalu, ketika sekitar 200 demonstran ditahan di Polrestabes Surabaya, meski kemudian dibebaskan secara bertahap. Peristiwa ini menunjukkan bahwa eskalasi kekerasan antara aparat negara dan warga sipil semakin meningkat di tingkat nasional," katanya. 

Pada titik ini, Aan mengingatkan pandangan Imam Ghazali, rusaknya rakyat karena rusaknya pemerintah, dan rusaknya pemerintah karena tokoh agamanya lebih cinta dunia dan ketenaran. Menurutnya, ketika tidak cukup banyak tokoh agama yang mampu mengagregasi ketertindasan rakyat, hal itu merupakan cermin dari kegagalan kepemimpinan moral. 

"Di Jombang, patron-klien antara tokoh agama dan kekuasaan masih sangat kuat, sehingga belum ada kyai yang berani mengkritik pemerintah. Menjaga demokratisasi berarti juga menjaga kesucian demokrasi itu sendiri, agar tidak terjebak hanya pada prosedur, tetapi benar-benar menghadirkan keadilan dan keberpihakan kepada rakyat," ujarnya menambahkan.

Senada dengan itu, Ana Abdillah dari WCC Jombang menyoroti lemahnya literasi digital dan meningkatnya hoaks yang beredar di ruang publik. Ia menegaskan bahwa demokrasi tidak hanya soal prosedur politik, tetapi juga perlindungan hak warga dan penguatan literasi masyarakat. 

Ia menjelaskan bahwa secara sederhana Indonesia masih menganut paham trias politica, yakni pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 

Namun, menurutnya, gagasan ini kini dianggap usang karena praktik demokrasi modern telah melahirkan berbagai lembaga independen seperti LPSK, KPK, dan Komnas HAM. 

"Kehadiran lembaga-lembaga tersebut merupakan bentuk koreksi atas keterbatasan trias politica dalam menjawab kompleksitas demokrasi," ungkapnya. 

la menyoroti pula pergeseran pola protes masyarakat. Jika dahulu gerakan publik lebih banyak menyuarakan aspirasi moral, kini protes seringkali berubah menjadi tindakan kekerasan di jalanan. 

Situasi ini, menurut Ana, menjadi lahan subur bagi berkembangnya hoaks dan disinformasi.

"Data dari Sosmon (pelacak disinformasi dan percakapan digital) bahkan menunjukkan peningkatan signifikan penggunaan deepfake, yang mencerminkan lemahnya literasi digital masyarakat Indonesia, di samping masih rendahnya literasi membaca dan menulis," bebernya. 

Dalam catatannya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 4,791 hoaks. terverifikasi, dengan rincian 33 persen terkait isu politik, 28 persen isu sosial, dan 21 persen isu kesehatan. Selain itu, sekitar 40 persen percakapan politik di media sosial dilakukan dengan akun palsu (fake account).

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved