Berita Viral
Bantah Kutip Siswi Rp100 Ribu Tiap Bulan, Kepsek Ungkap Awal Masalah dari Kelebihan Pembayaran PIP
Kepsek menjelaskan, awal mula isu yang kini sudah berkembang liar ini terjadi pada bulan Juli lalu.
Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM - seorang siswi di SMAN 1 Kabanjahe, Kabupaten Karo, diduga menjadi korban intimidasi oleh salah satu oknum guru di sekolah tersebut.
Dari beberapa sumber yang beredar, siswi tersebut dikutip Rp100.000 per bulan.
Tak pelak isu tak sedap di dunia pendidikan ini menjadi buah bibir masyarakat.
Baca juga: Siswa Terancam Dikeluarkan dari Sekolah usai Ditangkap saat Demo DPR RI, Dindik Bantah
Kasus ini bermula dari adanya kelebihan pembayaran saat siswi berinisial EP tersebut menerima bantuan dari Program Indonesia Pintar (PIP) sekitar bulan Agustus 2024 lalu.
Dimana uang yang seharusnya diterima oleh siswi tersebut sebesar Rp1,8 juta.
Namun pada saat diterima oleh siswi tersebut, hanya sebesar Rp4,5 juta.
Saat dikonfirmasi, Sekolah SMAN 1 Kabanjahe, Eddyanto Bangun, membenarkan adanya isu tersebut.
Ia menjelaskan awal mula isu yang kini sudah berkembang liar ini terjadi pada bulan Juli lalu.
"Benar itu awalnya mantan siswi kita ini menerima PIP di tahun lalu, ada kelebihan pembayaran PIP," ujar Eddyanto, Jumat (26/9/2025).
"Sebenarnya sudah ada klarifikasi dari sekolah dengan mantan siswi kita itu. Sekarang dia sudah bersekolah di luar kabupaten," imbuhnya, mengutip Tribun Medan.
Dijelaskan Eddyanto, awalnya EP sendiri mulai mendaftarkan diri ke SMAN 1 Kabanjahe pada tahun ajaran 2023-2024 lalu.
Namun, di tengah perjalanan, ia berhenti dan tidak mau sekolah lagi.
Selanjutnya pada tahun ajaran 2024-2025, EP mendaftar kembali sebagai siswa baru dan diterima kembali di SMAN 1 Kabanjahe.
Mengingat pengalaman tahun pertama pihak sekolah telah mengetahui kondisi ekonomi keluarga EP, pihak sekolah meminta kepada operator agar diusulkan di dapodik agar menerima bantuan PIP.
Setelah melalui proses verifikasi, akhinya EP terdaftar sebagai salah satu pelajar yang mendapatkan PIP dengan besaran bantuan sejumlah Rp1,8 juta.
"Pada saat anak tersebut mengambil uang tersebut ke Bank BNI Kabanjahe pada bulan Agustus 2024, ternyata Bank BNI kelebihan bayar pada saat pencairan."
"Seharusnya dia menerima Rp1.800.000, ternyata bank memberikan Rp4.500.000, dan ternyata anak tersebut menerima saja tanpa ada konfirmasi ke Bank atas kelebihan uang yang diterima (pengakuan oleh Bank BNI)," ucapnya.
Tak lama setelah itu, petugas Bank BNI datang ke sekolah.
Eddyanto mengaku jika pihak bank langsung bertemu dan mengkonfirmasi hal itu kepada dirinya.
Selanjutnya, ia lantas memanggil EP utnuk mengklarifikasi kebenaran tersebut tersebut dan ditemani oleh seorang guru berinisial SS.
Setelah dikonfirmasi, pihak sekolah juga mendapatkan bukti jika kelebihan pembayaran tersebut benar setelah mendengarkan pengakuan dari EP.
Atas kejadian itu, dikatakan Eddyanto, pihaknya langsung berembuk bersama petugas bank, EP, dan guru yang juga menemani EP untuk mencari jalan keluar.
"Pada saat itu, saya sebagai kepala sekolah memberikan usul penyelesaian atas masalah tersebut."
"Saya berkata kepada petugas bank, bagaimana kalau anak kami beserta keluarganya membayar Rp100.000/bulan, mengingat anak kami sudah mengakui kesalahannya dan kita juga tahu bagaimana ekonominya sulit."
"Lagipula dia masih kelas X, masih ada waktu lama untuk membantunya," ungkapnya.
Baca juga: Hidup Pilu Mistono Salah Divonis RSUD Idap Penyakit HIV, Dijauhi Keluarga hingga Tubuh Terus Melemah
Setelah pertemuan itu, semua pihak baik dari sekolah, siswi tersebut, dan pihak bank menemukan kesepakatan.
Namun, tanpa sepengetahuan pihak sekolah, ternyata apa yang disepakati tidak direalisasikan EP menurut pengakuan pihak bank.
Saat kunjungan terakhir di bulan November 2024, pihak bank didamping Ibu Guru Br Sembiring, membuat kesepakatan menyarankan siswa tersebut untuk datang ke BNI pada Jumat, 22 November 2024, beserta dengan kakak kandungnya untuk mendiskusikan penyelesaian lebih lanjut.
Namun, sampai dengan tanggal 28 November 2024, siswa tersebut belum ada itikad baik dan belum datang ke BNI.
Seiring dengan berjalannya waktu dan adanya beberapa masalah siswa tersebut, maka siswa tersebut berkeinginan untuk pindah ke SMAN 1 Kotarih.
Setelah surat pindah selesai dan sebelum dia pindah, guru BK menanyakan bagaimana permasalahan dengan BK, apakah sudah selesai atau belum, untuk menjaga nama baik SMAN 1 Kabanjahe.
"Selagi masih membicarakan permasalahan tersebut tiba-tiba orang KCBI datang marah-marah kepada guru BK tersebut. Sehingga kasus ini menjadi berlarut-larut sampai sekarang."
"Pertemuan itu juga sudah dari bulan Juli lalu, saat anak itu mau mengambil surat rekomendasi untuk pindah," ungkapnya.

Lebih lanjut, dirinya mengungkapkan terkait isu yang saat ini beredar tentang adanya intimidasi dari pihak sekolah, tidak benar.
Terkait isu yang kini juga beredar tentang kutipan sebesar Rp100.000, hal itu merupakan kesepakatan awal antara sekolah, pihak bank, dan EP untuk melunasi kelebihan pembayaran yang dulunya diterima oleh EP.
"Saat ini, kami dari pihak sekolah dengan pihak bank juga sudah menyelesaikan kelebihan pembayaran ini."
"Pihak bank kemarin sudah konfirmasi ke kita untuk tidak lagi menagih kelebihan ini, tapi kita minta ke pihak bank untuk membuat pernyataan secara tertulis."
"Sudah kita terima suratnya, pihak bank sudah memperpanjang kelebihan pembayaran ini," pungkasnya.
Baca juga: Siswa Korban Dugaan Keracunan Tak Makan MBG Lagi saat Diberi Sekolah, Gubernur: Trauma
Di tempat lain, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda telah menggratiskan pengadaan Lembar Kerja Siswa (LKS).
Namun, seorang orang tua murid, Shanty (32), mengaku diminta membeli tujuh buku LKS senilai Rp140.000.
Anaknya sekolah di salah satu SD Negeri di Jalan Merdeka, Kecamatan Sungai Pinang.
Padahal, sebelumnya pemerintah telah menegaskan bahwa LKS gratis.
Kebijakan Pemkot Samarinda itu pun kembali dipertanyakan oleh wali murid.
Shanty menuturkan, informasi pembelian LKS tersebut beredar melalui grup percakapan paguyuban orang tua murid sejak awal September 2025.
Pesan tersebut berisi rekomendasi pembelian buku di rumah salah satu guru, lengkap dengan tautan lokasi.
"Awalnya saya kira tidak wajib, karena tulisannya hanya direkomendasikan," kata Shanty saat ditemui Kompas.com, Jumat (26/9/2025).
"Tapi kemudian dijelaskan kalau buku ini penting untuk menunjang nilai," lanjutnya.
"Kepala sekolah bahkan mengibaratkan, 'Ibu mau nilainya setengah gelas atau penuh sampai bibir?'," beber Shanty.
Menurut Shanty, setiap buku LKS dijual Rp20.000 dengan total Rp140.000 untuk tujuh mata pelajaran.
Buku tersebut bukan bagian dari paket LKS yang disediakan Pemkot, melainkan terbitan penerbit swasta.
Ia mengaku sempat mempertanyakan hal ini kepada wali kelas melalui pesan pribadi, tetapi tidak mendapat jawaban.
Shanty lalu mendatangi sekolah dan bertemu dua guru, sebelum akhirnya berbicara dengan kepala sekolah melalui telepon.
"Kepala sekolah bilang tidak wajib, tapi menegaskan buku itu penting untuk menambah nilai. Kalau begitu, kan tetap terasa wajib," ujar Shanty lagi.

Shanty juga mengungkap adanya intimidasi saat pertemuan.
Ia menyebut dihadapkan dengan sekitar 10 guru yang meminta dirinya melapor langsung kepada Wali Kota Samarinda, Andi Harun.
"Saya dibentak dan diminta menghadirkan Pak Wali Kota kalau mau protes."
"Bahkan, sempat ada ancaman anak saya bisa dikeluarkan karena saya dianggap orang tua yang tidak bisa diatur," katanya.
Meski telah melapor ke Dinas Pendidikan Samarinda, Shanty mengaku khawatir mental anaknya terganggu akibat potensi perundungan atau perlakuan diskriminatif di sekolah.
Baca juga: Kritik Keterlibatan TNI dalam Program MBG, DPRD Kini Minta Maaf: Tidak Paham Undang-undang
Sebelumnya, Kepala Disdikbud Samarinda, Asli Nuryadin, menegaskan bahwa mulai Juli, sekolah tidak diperbolehkan lagi mewajibkan siswa membeli buku.
Termasuk LKS yang kini berganti nama menjadi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD).
Untuk mengatasi hal ini, Pemkot Samarinda akan mencetak dan mendistribusikan LKPD kepada siswa berdasarkan data yang tercatat di Disdikbud.
"Mulai Juli nanti, Pemkot sudah mengantisipasi pencetakan buku melalui Disdikbud" ujar Asli.
Asli menegaskan, dengan adanya buku wajib dari BOSNAS dan LKPD gratis dari Pemkot, tidak boleh lagi ada transaksi jual beli buku di sekolah.
"Jadi sekarang, buku wajib dan LKPD itu enggak ada lagi cerita transaksi di sekolah," pungkasnya.
Ternyata Tak Ada yang Punya Background Gizi, ini Daftar 10 Petinggi BGN |
![]() |
---|
Sosok Kapolsek Terancam Dipecat setelah Ketahuan Berduaan dengan Guru, Sering Menyelinap Masuk Rumah |
![]() |
---|
Pajak Kendaraan Mati Tak Bisa Isi BBM Bersubsidi? PT Pertamina Patra Niaga: Yang Penting STNK Sesuai |
![]() |
---|
Wali Murid Heran Disuruh Bayar LKS Rp 140 Ribu Padahal Pemkot Sudah Gratiskan, Malah Dibentak Guru |
![]() |
---|
Telanjur Beri Kembalian Rp 40 Ribu, Penjual Es Buah Ternyata Dapat Uang Palsu: Jualan Udah Sepi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.