Berita Viral
Penjualan LKS Rp140 Ribu Dilaporkan Ortu Murid SDN 017, Disdik: di Toko Harganya Terlalu Mahal
Disdik menegaskan penjualan LKS Rp140 ribu bukan kebijakan sekolah, melainkan inisiatif sebagian orang tua murid.
Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM - Penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS) senilai Rp140.000 di SDN 017 Sungai Pinang, Samarinda, Kalimantan Timur, menuai protes orang tua murid.
Kejadian ini terungkap setelah seorang wali murid, Shanty (32), mengaku diminta membeli tujuh LKS senilai Rp140.000.
Padahal, sebelumnya pemerintah telah menegaskan bahwa LKS gratis.
Baca juga: Alasan Orang Tua Cemas Dapur Sehat SD Muhammadiyah Mau Diganti MBG, Pilih Bayar Rp10.000 Buat Kantin
Polemik ini pun mendapat tanggapan dari Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Samarinda.
Pihaknya menegaskan bukan kebijakan sekolah, melainkan inisiatif sebagian orang tua murid.
Hal itu disampaikan setelah pertemuan mediasi antara pihak sekolah, wali murid, dan Disdik Kota Samarinda.
Kabid Pembinaan SD Disdik Kota Samarinda, Idah Rahmawati mengatakan, penjualan LKS muncul karena ada orang tua yang meminta referensi tambahan bagi anak mereka untuk belajar di rumah.
"Penjualan buku di sini bukan atas kemauan sekolah, tetapi atas permintaan orang tua sebagai bahan referensi belajar di rumah," kata Idah pada Senin (29/9/2025).
"Semua buku LKS itu juga tidak dibeli seluruh orang tua, hanya yang memang meminta," imbuhnya.
Menurut Idah, pihak sekolah sebenarnya sudah diarahkan agar orang tua yang ingin membeli buku tambahan dapat melakukannya di toko buku.
Namun, sebagian orang tua merasa harga di toko lebih mahal sehingga meminta sekolah membantu menyediakan.
"Kami memang menganjurkan kalau orang tua mau menambah referensi, silakan beli di luar," ujarnya.
"Tapi mungkin di toko-toko harganya terlalu mahal, sehingga muncul inisiatif orang tua meminta bantuan sekolah," kata Idah.
Idah menjelaskan, distribusi buku Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) gratis dari pemerintah memang belum merata.
Lantaran proses penganggaran mengacu pada data siswa per November 2024.
Sementara, tahun ajaran baru mengalami penambahan jumlah siswa dan rombongan belajar (rombel), sehingga stok LKPD tidak sesuai kebutuhan.
"Data penerima LKPD diambil akhir 2024. Saat pelaksanaan tahun ini, ada penambahan siswa mutasi dan rombel baru, sehingga jumlah buku kurang di lapangan," jelas Idah.
Ia memastikan, Disdik telah mencetak tambahan LKPD dan tengah menyiapkan administrasi distribusi.
Buku tambahan tersebut ditargetkan mulai dibagikan ke sekolah-sekolah, termasuk SDN 017, pada pekan depan.
"Buku sudah tersedia di gudang, kami siapkan berita acara serah terima untuk kesatuan pendidikan. Semoga minggu depan bisa didistribusikan," ucapnya.
Idah juga menegaskan Disdik telah mengeluarkan larangan kepada seluruh sekolah agar tidak memperjualbelikan buku dalam bentuk apa pun.
Ia menilai kasus di SDN 017 hanya terjadi karena miskomunikasi.
"Kami sudah memberikan larangan untuk tidak memperjualbelikan buku."
"Kasus ini murni miskomunikasi konsep, bukan kebijakan resmi sekolah," kata Idah menegaskan.
Baca juga: Alasan Petugas Satpol PP dan Damkar Tuban Lebih Sering Gelar Razia di Kos Dibanding Hotel
Sementara itu, pihak sekolah menegaskan buku LKS bersifat opsional, bukan kewajiban.
Wali Kelas 2B, Umi Maulidah mengatakan, pengadaan LKS berawal dari permintaan sebagian orang tua yang ingin bahan belajar tambahan karena distribusi buku Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) gratis dari pemerintah terbatas.
"LKPD dari pemerintah untuk kelas 2 hanya ada 30 eksemplar, sedangkan jumlah siswa 56 orang."
"Jadi kami menawarkan buku pendamping berupa LKS bagi orang tua yang mau saja. Tidak ada paksaan," kata Umi, Senin (29/9/2025), dilansir dari Kompas.com.
Harga LKS disebut Rp20.000 per buku dengan tujuh mata pelajaran.
Buku tersebut hanya digunakan sebagai bahan belajar di rumah dan tidak memengaruhi pembelajaran di kelas.
Kepala SDN 017, Dahlina, juga membantah tudingan intimidasi terhadap Shanty Ramadhania, orang tua murid yang menolak membeli LKS.
Menurutnya, pertemuan yang sempat dihadiri banyak guru hanya untuk klarifikasi, bukan tekanan.
"Kami menegaskan sejak awal buku itu tidak diwajibkan. Kalau orang tua merasa berat, tidak membeli pun tidak apa-apa. Kami tidak pernah mengancam akan mengeluarkan siswa," ujar Dahlina.
Ia mengakui sempat menggunakan perumpamaan 'gelas setengah dan gelas penuh' untuk menggambarkan manfaat LKS, namun menegaskan itu bukan bentuk paksaan.
"Itu hanya cara kami menjelaskan. Kalau mau materi lebih banyak, silakan membeli. Kalau tidak, tetap belajar di kelas seperti biasa," ucapnya.
Dahlina menambahkan pihaknya melindungi semua siswa dari potensi perundungan, termasuk anak Shanty.
Ia juga meminta maaf jika komunikasi guru menimbulkan kesalahpahaman.
"Kami guru tidak boleh dendam. Kalau ada salah ucap, kami berbesar hati meminta maaf," kata Dahlina.
Diberitakan, kasus ini mencuat setelah Shanty mempertanyakan pembelian LKS di tengah kebijakan Pemkot Samarinda yang menggratiskan LKPD bagi siswa sekolah negeri.
Shanty menuturkan, informasi pembelian LKS tersebut beredar melalui grup percakapan paguyuban orang tua murid sejak awal September 2025.
Pesan tersebut berisi rekomendasi pembelian buku di rumah salah satu guru, lengkap dengan tautan lokasi.
"Awalnya saya kira tidak wajib, karena tulisannya hanya direkomendasikan," kata Shanty saat ditemui Kompas.com, Jumat (26/9/2025).
"Tapi kemudian dijelaskan kalau buku ini penting untuk menunjang nilai," lanjutnya.
"Kepala sekolah bahkan mengibaratkan, 'Ibu mau nilainya setengah gelas atau penuh sampai bibir?'," beber Shanty.
Baca juga: Jupriadi Tak Terima Dipecat usai 16 Tahun Mengajar Gara-gara Pernah Nyaleg: Tidak Pernah Dipanggil
Menurut Shanty, setiap buku LKS dijual Rp20.000 dengan total Rp140.000 untuk tujuh mata pelajaran.
Buku tersebut bukan bagian dari paket LKS yang disediakan Pemkot, melainkan terbitan penerbit swasta.
Ia mengaku sempat mempertanyakan hal ini kepada wali kelas melalui pesan pribadi, tetapi tidak mendapat jawaban.
Shanty lalu mendatangi sekolah dan bertemu dua guru, sebelum akhirnya berbicara dengan kepala sekolah melalui telepon.
"Kepala sekolah bilang tidak wajib, tapi menegaskan buku itu penting untuk menambah nilai. Kalau begitu, kan tetap terasa wajib," ujar Shanty lagi.
Shanty juga mengungkap adanya intimidasi saat pertemuan.
Ia menyebut dihadapkan dengan sekitar 10 guru yang meminta dirinya melapor langsung kepada Wali Kota Samarinda, Andi Harun.
"Saya dibentak dan diminta menghadirkan Pak Wali Kota kalau mau protes."
"Bahkan, sempat ada ancaman anak saya bisa dikeluarkan karena saya dianggap orang tua yang tidak bisa diatur," katanya.
Meski telah melapor ke Dinas Pendidikan Samarinda, Shanty mengaku khawatir mental anaknya terganggu akibat potensi perundungan atau perlakuan diskriminatif di sekolah.
| Relawan Geruduk Kantor Kepala Dapur Protes Gaji Sudah Kecil Masih Dipotong, Lembur Tak Dibayar |
|
|---|
| Ivan Gunawan Kaget saat Temui Fitri yang Dicerai Suami Jelang Jadi PPPK, Beri Pesan Hidup di Jakarta |
|
|---|
| Penjelasan Dosen UGM soal Efek Mikroplastik di Tubuh Manusia, Paparan Tinggi di Kota Besar |
|
|---|
| Hati-hati Gelar Hajat Bisa Kenda Denda Rp 50 Juta Jika Tak Izin, Walikota Eri: Kita Harus Tegas |
|
|---|
| Anen Tak Sudi Ngemis Sejak 1981, Kerja Jual Koran dan Majalah Meski Buta, Hapal Tekstur Tiap Kertas |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.