Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Sosok Ribka Tjiptaning yang Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Nggak Ada Pantasnya

Usulan Soeharto jadi Pahlawan Nasional mendapat kritikan hingga penolakan. Salah satunya datang dari Ketua DPP PDI Perjuangan.

Warta Kota/Yulianto
TOLAK GELAR PAHLAWAN - Ketua DPP PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning menolak usul gelar pahlawan nasional diberikan kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto. Penolakan tersebut disampaikan Ribka Tjiptaning sebagai pernyataan pribadi bukan sikap partainya, Selasa (28/10/2025). 

TRIBUNJATIM.COM - Ada 40 nama tokoh diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) RI, Fadli Zon.

Di antaranya dua mantan presiden RI, Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta aktivis buruh Marsinah.

Namun usulan Soeharto jadi Pahlawan Nasional mendapat kritikan hingga penolakan.

Salah satunya datang dari Ketua DPP PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning.

Ia menolak usul gelar pahlawan nasional diberikan kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto.

Penolakan tersebut disampaikan Ribka Tjiptaning sebagai pernyataan pribadi bukan sikap partainya.

Demikian Ribka Tjiptaning dalam keterangannya kepada Jurnalis Kompas TV Putu Trisnanda, Selasa (28/10/2025).

“Kalau pribadi saya menolak keras,” tegas Ribka, dikutip dari kompas.tv.

Ribka lalu mempertanyakan apa kehebatan dari presiden yang pernah menjabat selama 32 tahun sehingga diusulkan menjadi pahlawan nasional.

“Apa sih hebatnya Soeharto itu sebagai pahlawan,” kata Ribka.

Baca juga: Anak Buah Presiden Prabowo Kompak Sebut Soeharto Layak Jadi Pahlawan Nasional: Pertimbangan

Pelanggar Hak Asasi Manusia

Menurut Ribka, Soeharto adalah pelanggar hak asasi manusia yang membunuh jutaan rakyat Indonesia. 

Atas dasar itu, Ribka berpendapat, Soeharto tidak layak menerima gelar pahlawan nasional.

“Hanya bisa membunuh jutaan rakyat Indonesia. Pelanggar HAM, membunuh jutaan rakyat belum ada pelurusan sejarah, nggak ada pantasnya jadi pahlawan nasional,” ucap Ribka.

Penolakan Ribka soal usulan Soeharto ini kemudian menjadi sorotan.

Foto Arsip. Ribka Tjiptaning Proletariyati.
Foto Arsip. Ribka Tjiptaning Proletariyati. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Sosok Ribka Tjiptaning

Dikutip dari laman resmi DPR via Kompas.com, Ribka lahir di Yogyakarta pada 1 Juli 1959. 

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah atas, Ribka menempuh pendidikan strata satu (S1) di Universitas Kristen Indonesia dengan jurusan kedokteran.

Kemudian, ia melanjutkan pendidikan S2 dengan jurusan Ahli Asuransi Kesehatan di Universitas Indonesia pada 2012.

Sebelum terjun ke dunia politik, Ribka pernah membuka praktek sebagai dokter di Klinik Partuha Ciledug.

Situs DPR juga menulis, pada 1992-2000, ia pernah menjadi dokter di perusahaan Puan Maharani.

Kemudian, Ribka menjabat sebagai anggota DPR sekaligus Ketua Komisi IX DPR pada periode 2005-2009.

Lalu, ia terpilih kembali menjadi anggota DPR periode 2019-2024 sebagai anggota Komisi IX.

Sejumlah polemik pun pernah muncul terkait RIbka Tjiptaning.

Setidaknya, dua yang menjadi besar, yaitu saat dia berbicara soal vaksin Covid-19 dan kontroversi hilangnya ayat tembakau.

Baca juga: Kisah Gus Dur Disanjung Lalu Dilengserkan MPR, Kini Mensos Usulkan Jadi Pahlawan Nasional

Tidak Pantas Diberi Gelar Pahlawan

Selain Ribka yang menolak, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS juga memberikan reaksi yang sama.

KontraS menegaskan Soeharto tidak pantas diberi gelar pahlawan nasional.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina, mengatakan banyak sekali dosa-dosa yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa menjabat sebagai Presiden RI.

Dosa-dosa tersebut mulai dari pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat hingga sejumlah pelanggaran hukum yang telah dilakukannya.

KontraS mencatat ada 9 pelanggaran HAM berat yang dilakukan Soeharto antara lain Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Tanjung Priok (1984), Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985).

Kemudian, Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998), Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998,

Baca juga: Marsinah Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Mensos Gus Ipul: Simbol Keberanian Buruh Indonesia

Lalu, Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999), Peristiwa Mei 1998, dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).

Sedangkan dari aspek pelanggaran hukum, Transparency International mencatat Soeharto sebagai pemimpin terkorup di dunia, dengan potensi kerugian negara mencapai US$15-35 miliar.

“Banyak sekali masalahnya. Kita membicarakan dosa Soeharto 32 tahun yang tidak bisa terangkum dalam diskusi kita hari ini,” kata Jane dalam sebuah diskusi virtual yang digelar pada Minggu (26/10/2025), dikutip dari kompas.tv.

Selain itu, ia menyoroti sistem pemberian gelar pahlawan nasional dan tanda kehormatan yang tidak transparan atau melibatkan partisipasi publik. 

Sebaliknya, Jane menilai, pemberian gelar tersebut terkesan tertutup. Bahkan, sarat dengan muatan politis tertentu.

“Pemberian gelar pahlawan nasional, tanda kehormatan, cenderung tertutup, tidak ada ruang partisipasi aktif dari masyarakat,” ujarnya seperti dilaporkan jurnalis Kompas TV, Edwin Zhan.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved